Rabu, 23 Desember 2015

Hadits Arbain ke 21

HADITS Arbain ke 21

عَنْ أَبِي عَمْرو، وَقِيْلَ : أَبِي عَمْرَةَ سُفْيَانُ بْنِ عَبْدِ اللهِ الثَّقَفِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ قُلْ لِي فِي اْلإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَداً غَيْرَكَ . قَالَ : قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ

[رواه مسلم]

🌾Penjelasan:

Ucapan قُلْ لِي فِي اْلإِسْلاَم (katakanlah kepadaku dalam uslam), " artinya dalam syariat islam.  "  قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَداً غَيْرَكَ  (Suatu ucapan yang aku tidak akan bertanya lagi tentangnya kepada seorangpun selainmu)," artinya perkataan yang menjadi batasan yang jelas, mencakup dab kuat.

Maka Rasulullah bersabda padanya: " قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ (Katakanlah aku beriman pada Allah ), "yang tempatnya dalam hati, " ثُمَّ اسْتَقِمْ (kemudian beristikomahlah)" dalam ketaatan kepada Allah, dan ini dilakukan oleh anggota badan.

Hadits ini bersifat jaami" (mencakup dan menghimpun perkara-perkara yang luas), dan termasuk diantara hadits-hadits yang bersifat demikian.

Sabda beliau: " آمَنْتُ بِالله (Aku beriman pada Allah)," mencakup ucapan lisan dan perkara hati. Para ulama mengatakan: "Yang dimaksud perkataan hati adalah menetapkan dan mengakuinya.

آمَنْتُ بِالله
(Aku beriman pada Allah) artinya aku mengikrarkannya sesuai dengan apa yang diwajibkan kepadaku, berupa iman terhadap keesaan Allah dalam hal Rububiyah, Uluhiyan serta Asma" dan SifatNya.

Kemudian setelah beriman, " اسْتَقِمْ" (beristiqomahlah), "artinya berjalanlah diatas shirathul mustaqim (jalan yang lurus), dan janganlah engkau melanggar ketentuan syariat, tidak melenceng ke kanan dan tidak juga ke kiri.

(Syarhul Arba"iin an-Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin)

Follow
✏twitter: @fajarardhys
📙channel telegram: @tetaplurus , @muhammadiyah
📚blog: http://tetaplurus.blogspot.com

Kamis, 10 Desember 2015

Hukum Ummu Walad

💡Hukum Mengenai ummu Walad

🌾Ada seorang yang bertanya mengenai budak yang dihamili tuannya, dan kemudian tuannya tersebut wafat. Apakah budak tersebut secara otomatis diwariskan ke anak tuan nya tersebut?

Jawab:

Jika pemilik budak menggauli budak perempuannya, kemudian mengandung janin, maka haram bagi pemiliknya untuk menjual, meggadaikan, dan menghadiahkannya. Dia boleh boleh menggunakannya untuk pelayanan dan berhubungan badan. Jika pemilik budak itu meninggal, maka budak perempuan ini merdeka sebagai harta kekayaan sebelum dibayarkan hutang-hutangnya dan ditunaikan wasiat-wasiatnya. Anak budak perempuan itu dari orang lain sama dengan kedudukannya.

Barangsiapa mengauli budak perempuan orang lain setelah menikahinya, maka anak yang dilahirkannya menjadi budak dari pemilik budak perempuan itu. Jika seseorang menggaulinya dengan syubhat, maka anak yang dilahirkannya itu merdeka dan dia harus membayarkan harga anak itu kepada pemilik budak perempuan. Jika seseorang membeli budak perempuan yang dicerai setelah dia disetubuhi melalui pernikahan, maka budak perempuan itu tidak menjadi ummul walad baginya. Budak perempuan itu menjadi itu menjadi ummul walad jika persetubuhan terjadi karena syubhat, berdasarkan salah satu pendapat.

📚Penjelasan:

1. Ummu walad adalah budak wanita yang digauli pemiliknya, kemudian melahirkan anak untuknya.
2. Daruquthni (4/134) dan Baihaqi (10/348) meriwayatkan dari Umar, dia mengatakan, "Ummu walad itu tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Pemiliknya boleh menggaulinya selama dia masih hidup. Jika pemiliknya meninggal, maka ummu walad itu merdeka."

Ibnul Qaththan menyatakan atsar ini shahih dan marfu". (Nihayah:3/121)

Imam Malik dalam Al-Muwaththa" (2/776) meriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab berkata, "Budak perempuan manapun yang melahirkan anak dari pemiliknya, maka dia tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan. Pemiliknya boleh menggaulinya. Jika pemiliknya meninggal, maka budak perempuan itu merdeka."
3. Jika budak perempuan memiliki anak bukan dari majikannya setelah menjadi ummu walad, maka anaknya itu merdeka seperti ibunya setelah pemiliknya meninggal. Sebab, kemerdekaan anak mengikuti kemerdekaan ibunya.
4. Barangsiapa menggauli budak perempuan orang lain setelah menikahinya, maka anak yang dilahirkannya menjadi budak dari pemilik budak perempuan itu. Sebab, perempuan itu adalah budak, sedangkan anaknya mengikuti hukum ibunya.
5. Maksud "menggauli dengan syubhat" adalah menggauli budak perempuan orang lain karena menyangka bahwa perempuan itu adalah budaknya atau istrinya yang berstatus perempuan merdeka.
6. Jika seseorang membeli budak perempuan yang dicerai setelah dia setubuhi melalui pernikahan, maka budak perempuan itu tidak menjadi ummu walad baginya. Gambarannya sebagai berikut:
Seseorang menikahi perempuan yang berstatus sebagai budak dan menggaulinya sehingga melahirkan anak. Orang itu kemudian menceraikannya. Kemudian dia memilikinya dari pemiliknya dengan membeli, melalui hibah, atau selainnya.
7. Pendapat yang menyatakan bahwa budak perempuan tersebut menjadi ummul walad jika persetubuhan terjadi karena syubhat adalah pendapat lemah. Pendapat paling kuat menyatakan bahwa budak perempuan itu menjadi ummu walad selama dia tidak menggaulinya dan melahirkan setelah memilikinya.

Wallahu"alam bisshowab.
Demikianlah penjelasan yang kami kutipkan dari kitab Nikah At-Tadzhib fi Adillat Matan Al-Ghayat wa At-Taqrib Al-Masyhur bi Matan Abi Syuja" fi Al-Fiqh Asy-Syafi"i.
Dr. Musthafa Diib Al-Bugha

Follow
✏twitter: @fajarardhys
📙channel telegram: @tetaplurus , @muhammadiyah
📚blog: http://tetaplurus.blogspot.co.id

Rabu, 09 Desember 2015

Sifat Istiwa" (Bersemayam) Bagi Allah

💡 Sifat Istiwa" (Bersemayam) Bagi Allah

Seseorang datang kepada Imam Malik bin Anas dan berkata, "Wahai Abu Abdullah, Allah Ta"ala berfirman: "(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam diatas "Arsy" (Thaha [20]: 5), bagaimana bersemayam itu?" Malik menundukkan kepala sesaat, keringat bercucuran, setelah itu mengangkat kepala dan berkata, "Bersemayam itu sudah diketahui, caranya tidak bisa dijangkau akal, mengimaninya wajib, dan menanyakannya bid"ah. Menurutku, kau tidak lain ahli bid"ah. Imam Malik kemudian memerintahkan orang tersebut diusir."

(Shahih. Diriwayatkan dari banyak jalur)

Diriwayatkan dari Sufyan bin Uyainah, "Rabi"ah ditanya tentang firman Allah Ta"ala, "(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam diatas "Arsy." (Thaha[20]: 5) Dia menjawab, "Bersemayam itu sudah diketahui, caranya tidak bisa dijangkau akal. Risalah ini berasal dar Allah, Rasul hanya menyampaikan, dan kita wajib mempercayainya."

(Shahih. Diriwayatkan al-Lalikai dalam syarh ushul al-Itiqad (665), Ibnu Qudamah dalam al-"Uluww (90). Juga diriwayatkan al-"Ajli dalam at-Taariikh (hal. 358), al-Baihaqi dalam al-Asma" wash shifat (II/360), dan adz-Dzahabi dalam al-"Uluwe (II/911).)

Diriwayatkan dari Malik, "Allah berada di langit, ilmu-Nya menjangkau semua tempat, tidak ada tempat yang tidak terjangkau oleh ilmunya."

(Hasan. Diriwayatkan Abu Dawud dalam Masa"ilul Imam Ahmad (hal. 263), Abdullah bin Ahmad dalam as-sunnah (I/106-107), dan lainnya.)

Silsilah at Atsar ash Sahihah aw ash Shahih al Musnad min Aqwalis Shahabah wat Tabi"in

Follow
✏twitter: @fajarardhys
📙channel telegram: @tetaplurus , @muhammadiyah
📚blog: http://tetaplurus.blogspot.co.id

Sabtu, 05 Desember 2015

Hukum Mengasuh Anak

💡Hukum Mengasuh Anak

🌾Jika suami menceraikan istrinya, sedangkan dia memilih anak darinya, maka istrinya lebih berhan untuk memelihara si anak sampai berusia tujuh tahun. Setelah itu, anak diberi hak memilih diantara kedua orang tuanya. Siapa saja yang dia pilih di antara keduanya, maka anak itu diserahkan kepadanya.

Syarat untuk mengasuh anak itu ada tujuh:

1. Berakal.
2.Merdeka.
3. Beragama.
4. Bisa menjaga kehormatan diri (wanita baik-baik).
5. Amanah.
6. Bermukim di suatu daerah yang jelas.
7.Tidak bersuami

Jika kurang salah satu syarat, maka gugurlah hal untuk mengasuh anak dari istri yang dicerai itu.

📚Penjelasan

1. Abu Dawud (2276) dan selainnya meriwayatkan dari “Amru bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah Shallallahu “alaihi wa sallam didatangi oleh seorang wanita dan berkata, “Wahai Rasulullah! Putraku ini membutuhkan perutku sebagai bejananya, payudaraku sebagai minumannya, dan pangkuanku. Akan tetapi, bapaknya menceraikanku dann ingin mengambilnya dari diriku. “Rasulullah Shallallahu “alaihi wa sallam lalu bersabda kepadanya, “Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah.”

2. Tirmidzi (1357) dan selainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah memberi pilihan kepada seorang anak antara bapak dan ibunya. Dalam riwayat Abu Dawud (2277) dan selainya disebutkan bahwa seorang wanita mendatangi nabi dan berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya suamiku ingin membawa pergi putraku. Padahal, putraky ini yang memberiku minum dari sumur Abu “Inbah dan memberiku manfaat.” Rasulullah lalu  bersabda, “Hendaklah kalian berdua memberinya kesempatan untuk memilih.” Suaminya berkata, “siapa yang ingin menentangku dalam perkara putraku ini?” Kemudian nabi bersabda, “Ini bapakmu dan ini ibumu. Peganglah tangan siapapun yang engkau inginkan!” KemudiaN anak itu memegang tangan ibunya. Ibunya lalu membawa pergi.

Dalam hadits diatas disebutkan  bahwa putra wanita tersebut  sudah besar dan mampu melakukan sesuatu yang akan bermanfaat untuk ibunya. Dahulu dia telah mendidiknya ketika kecil dan tidak mampu melakukan apapun.

3.  Diantara syarat untuk mengasuh anak adalah beragama. Maksudnya, orang yang memeliharanya adalah seorang muslim jika orang yang dipelihara juga seorang muslim

4. Termasuk syarat juga adalah tidak bersuami. Dasarnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu “alaihi wa sallam tadi, “selama engkau belum menikah.

(At-Tadzib fi Adillat Matan Al-Ghayat wa At-Taqrib Al-Masyhur bi Matan Abi Syuja` fi Al-Fiqh Asy-Syafi`i, Kitab Nikah, DR. Musthafa Dib Al-Bugha)

Follow
✏twitter: @fajarardhys
📙channel telegram: @tetaplurus , @muhammadiyah
📚blog: http://tetaplurus.blogspot.co.id

Kamis, 03 Desember 2015

Bersikap Pertengahan Dalam Cinta dan Benci

Bersikap Pertengahan Dalam Cinta dan Benci

Diriwayatkan dari Aslam al-Adawi, "Umar bin Khaththab berkata kepadaku, "Wahai Aslam, jangan sampai cintamu dipaksakan dan jangan sampai bencimu membinasakan."

"Bagaimana caranya?" Tanyaku.

"Jika kau mencintai seseorang, jangan sampai kau memaksakan diri seperti anak kecil yang memaksakan diri demi sesuai yang diinginkan. Dan jika kau membenci seseorang, jangan sampai membuatmu menginginkan orang yang kau benci binasa dan mati."

(Diriwayatkan Abdurrazaq dalam al-Mushannaf (XI/181), al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (no 1322), dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tahdzibul Atsar (I/223-224).)

Artinya, jika engkau mencintai seseorang, jangan berlebihan seperti wanita dan anak kecil yang memaksakan diri ketika menginginkan sesuatu. Demikian pula di saat kau membenci seseorang, jangan berlebihan hingga menginginkan orang yang kau benci binasa dan mati.

Diriwayatkan dari Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib, "Cintailah kekasihmu seperlunya, bisa jadi dia akan membencimu suatu hari nanti. Bencilah orang yang kau benci seperlunya saja, bisa jadi dia menjadi kekasihmu suatu hari nanti."

(Diriwayatkan secara mauquf dan marfu". Diriwayatkan al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (no 1321) dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (XIV/102).)

(Silsilah al atsar ash sahihah aw ash shahih al Musnad min aqwalis shahabah wat tabi"in)

Follow
✏twitter: @fajarardhys
📙channel telegram: @tetaplurus , @muhammadiyah
📚blog: http://tetaplurus.blogspot.co.id

Selasa, 01 Desember 2015

Menjama" Shalat

💡Menjama" Shalat

🌾Boleh bagi musafir untuk menjama" antara Dzuhur dengan Ashar diwaktu manapun yang diinginkan di antara keduanya serta antara Maghrib dan Isya” di waktu manapun yang dia inginlan diantara keduanya.

Boleh bagi orang yang mukim menjama" antara Dzuhur dan Ashar serta antara Maghrib dan Isya" ketika turun hujan di waktu pertama shalat tersebut.

📚Penjelasan;

Bukhari (1057) meriwayatkan dari Ibnu “Abbas, dia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahi “alaihi wa sallam menjama" antara shalat Dzuhur dan Ashar jika sedang melakukan safar dan juga menjama" antara Maghrib dan Isya".”

Abu Dawud (1208) dan Tirmidzi (554) meriwayatkan dari Mu"adz bahwa Nabi Shallallahi “alaihi wa sallam berada pada perang tabuk. Jika melakukan perjalanan sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan Dzuhur dan menjama" di waktu Ashar, kemudian mengerjakan kedua shalat tersebut. Jika melakukan perjalanan setelah matahari tergelincir, beliau shalat Dzuhur dan Ashar semuanya, kemudian berjalan. Jika melakukan perjalanan sebelum Maghrib, beliau mengakhirkan Maghrib dan melaksanakannya bersama dengan shalat Isya". Jika melakukan perjalanan setelah Maghrib, beliau menyegerakan Isya". Beliau mengerjakannya bersama dengan shalat Magjrib.

2.  Bukhari (518) dan Muslim (705) meriwayatkan dari Ibnu “Abbas bahwa Rasulullah Shallallahi “alaihi wa sallam, mengerjakan shalat di Madinah sebanyak tujuh atau delapan rekaat, yaitu Dzuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya.” Muslim menambahkan, “Beliau melakukan itu bukan karena takut dan tidak dalam keadaan safar.” Dalam riwayat Bukhari disebutkan bahwa Ayyub, salah seorang periwayat hadits, berkata, “Barangkali hal itu dilakukan ketika hujan di malam hari.” “Mungkin saja", katanya.

Syarat bolehnya menjama" shalat Maghrib dan shalat Isya" ketika hujan adalah:

Dilakukan secara berjamaah di masjid atau tempat yang jauh menurut kebiasaan.

Tidak boleh menjama”nya di waktu kedua karena bisa jadi hujan akan berhenti sehingga menyebabkan pelaksanaan shalat bukan pada waktunya tanpa udzur.

(At-Tadzib fi Adillat Matan Al-Ghayat wa At-Taqrib Al-Masyhur bi Matan Abi Syuja` fi Al-Fiqh Asy-Syafi`i, Kitab Shalat,  DR. Musthafa Dib Al-Bugha)

Follow
✏twitter: @fajarardhys
📙channel telegram: @tetaplurus , @muhammadiyah
📚blog: http://tetaplurus.blogspot.co.id

Shalatnya Musafir

💡Sholatnya Musafir

🌾Seorang musafir boleh mengqasar shalat yang berjumlah empat rekaat dengan lima syarat, yaitu:

1. Safarnya bukan untuk maksiat.
2. Jarak safar sejauh 16 farsakh.
3. Shalat yang di qasar khusus shalat yang berjumlah empat rekaat.
4. Berniat mengqasar bersamaan dengan takbiratul ihram.
5. Tidak bermakmum kepada orang yang mukim (tidak melakukan safar).

📚Penjelasan:

1. Dasar bolehnya musafir mengqasar shalat yang berjumlah empat rekaat adalah firman Allah Ta"ala,

“Apabila kamu bepergian dimuka bumi, maka tidak mengapa kamu mengqasar shalat(mu).”

(An-Nisa : 101)

Muslim (686) meriwayatkan dari Ya"la bin Umayyah, dia berkata, “Saya bertanya kepada Umar bin Khattab mengenai firman Allah,

“Maka tidaklah mengapa kamu mengqasar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” Bukankah orang-orang telah aman?” Umar menjawab, “Saya juga heran dengan apa yang engkau herankan itu. Lalu, saya bertanya pada Rasulullah tentang hal ini. Beliau menjawab, “Ini adalah sedekah yang Allah sedekahkan kepada kalian, maka terimalah sedekahnya.”

Hadits ini menunjukkan bahwa mengqasar shalat bukan hanya khusus ketika ada rasa takut.

Bukhari (1039) dN Muslim (690) meriwayatkan dari Anas dia berkata, “Saya shalat dzuhur empat rekaat bersama Rasulullah di Madinah dan shalat Ashar dua rekaat du Dzul Hulaifa.”

2. Bukhari meriwayatkan dengan disertai komentar (tentang mengqasar shalat, bab: berapa jarak yang diperbolehkan untuk mengqasar shalat), “Ibnu Umar dan Ibnu “Abbas mengqasar dan berbuka dengan jarak 4 barf, yaitu 16 farsakh.” Jarak ini kira-kira sama dengan 81 km. Kedua sahabat ini melakukannya berdasarkan ilmu dari Nabi.

3. Mengqasar shalat yang berjumlah empat rekaat dilakukan ketika dalam safar. Jika diwaktu safar seseorang mengqadha” shalat yang tertinggal ketika mukim, maka tidak boleh mengqasarnya. Begitu juga dengan mengqadha" shalat yang tertinggal ketika safar di waktu mukim.

4. Dasar tidak bolehnya musafir mengqasar shalat dengan bermakmum kepada orang yang mukim (tidak melakukan safar) adalah khabar Ahmad bin Hanbal dari Ibnu “Abbas yang ditanya, “Mengapa seorang musafir mengerjakan shalat dua rekaat jika sendirian dan empat rekaat jika bermakmum dengan orang yang mukim?” Ibnu “Abbas menjawab, “Itulah sunnah.”

(At-Tadzib fi Adillat Matan Al-Ghayat wa At-Taqrib Al-Masyhur bi Matan Abi Syuja` fi Al-Fiqh Asy-Syafi`i, Kitab Shalat, DR. Musthafa Dib Al-Bugha)

Follow
✏twitter: @fajarardhys
📙channel telegram: @tetaplurus , @muhammadiyah
📚blog: http://tetaplurus.blogspot.co.id

Sabtu, 28 November 2015

Amalan Ketika Turun Hujan

💡Beberapa Amalan Ketika Turun Hujan

🌾Berikut ini adalah beberapa amalan yang dapat diamalkan ketika turun hujan

1. Berdoa Ketika Hujan Turun Sebagau Rasa Syukur pada Allah Ta"ala.

Apabila Allah memberi nikmat hujan, dianjurkan bagi seorang muslim dalam rangka bersyukur pada Allah untuk membaca
 
       اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً

Itulah yang Nabi Shallallahu "alaihi wa sallam ucapkan ketika melihat turunnya hujan. Hal ini berdasarkan hadits dari ummul mukminim, Aisyah radhiyallahu "anha,

إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ  اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً

"Nabi shallahu "alaihi wa sallam ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan, "Allahumma shoyyiban naafi "an'" (Ya Allah turunkanlah kepada kami hujan yang bermanfaat)."

2. Turunnya Hujan, Kesempatan Terbaik untuk Memanjatkan Do"a.

Sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu "alaiho wa sallam bersabda,

ثِنْتَانِ مَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِوَ تَحْتَ المَطَرِ

“Dua do’a yang tidak akan ditolak: [1] do’a ketika adzan dan [2] do’a ketika ketika turunnya hujan.” 

3. Doa Ketika Terjadi Angin Kencang

Rasulullah shallallahu "alaihi wa sallam mengucapkan ketika itu,

اَللهُمَّ اِنِّىْ اَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَمَا فِيْهَا وَخَيْرَمَآ اَرْسَلْتَ بِهِ، وَاَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّمَآ اَرْسَلْتَ بِهِ

"Ya, Allah, aku memohon kepada-Mu baiknya angin ini dan kebaikan yang ada padanya, dan aku memohon kebaikan dari yang diutus dengannya. Aku berlindung kepada-Mu dari buruknya angin ini, dan keburukan yang ada padanya dan aku berlindung dari keburukan yang diutus dengannya."

4. Doa ketika Mendengar Suara Petir

Apabila Abdullah bin Az Zubair mendengar petir, dia menghentikan pembicaraan, kemudian mengucapkan,

سُبْحَانَ الَّذِيْ يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمِدِهِ وَالْمَلاَئِكَةُ مِنْ خِيْفَتِه

"Mahasuci Allah yang petir dan malaikat bertasbih dengan memuj-Nya karena rasa takut kepada-Nya."

5. Mengambil Berkah dari Air Hujan

Anas bin Malik radhiyallahu "anhu berkata, "Kami pernah kehujanan bersama  Rasulullah shallallahu "alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah shallallahu "alaihi wa sallam menyingkap bajunya hingga terguyur hujan. Kemudian kami mengatakan, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan demikian?" Kemudian Rasulullah shallallahu "alaihi wa sallam bersabda, "Karena hujan ini baru saja Allah ciptakan" [HR. Muslim no. 898]

Dalam hal mencari berkah dengan air hujan dicontohkan pula oleh sahabat Ibnu Abbas. Beliau berkata, "Apabila turun hujan, beliau mengatakan, "Wahai pelayan keluarkanlah pelanaku, juga bajuku"." Lalu beliau membacakan ayat yang artinya, "Dan kami menurunkan dari langit air yang penu barokah."
(QS. Qaaf: 9)

6. Dianjurkan Berwudhu dengan Air Hujan

Dianjurkannya untuk bersuci menggunakan air hujan, sesuai hadits Nabi shallallahu "alaihi wa sallam,

كَانَ يَقُوْلُ إِذَا سَالَ الوَادِي ” أُخْرُجُوْا بِنَا إِلَى هَذَا الَّذِي جَعَلَهُ اللهُ طَهُوْرًا فَنَتَطَهَّرُ بِهِ “

“Apabila air mengalir di lembah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Keluarlah kalian bersama kami menuju air ini yang telah dijadikan oleh Allah sebagai alat untuk bersuci”. Kemudian kami bersuci dengannya.”

7. Larangan Mencela Hujan

Nabi shallalahu "alaihi wa sallam telah menasehatkan kita agar jangan selalu menjadikan makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa sebagai kambing hitam jika kita mendapatkan sesuatu yang tidak kita sukai. Seperti mencela waktu dan angin, begitu pula hujan. Mencela hujan sama saja mencela pencipta hujan yaitu Allah Ta"ala.

8. Berdoa Setelah Turunnya Hujan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ. فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا. فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ »

“Pada pagi hari, di antara hambaKu ada yang beriman kepadaKu dan ada yang kafir. Siapa yang mengatakan ’Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah), makadialah yang beriman kepadaku dan kufur terhadap bintang-bintang. Sedangkan yang mengatakan ‘Muthirna binnau kadza wa kadza’ (Kami diberi hujan karena sebab bintang ini dan ini), maka dialah yang kufur kepadaku dan beriman pada bintang-bintang.”

(Panduan Amal Shalih di Musim Hujan, Muhammad Abduh Tuasikal)

Follow
✏twitter: @fajarardhys
📙telegram channel: @tetaplurus , @muhammadiyah
📚blog: http://tetaplurus.blogspot.co.id

Seputar Mengusap Sepatu

💡Hukum Mengusap Sepatu

🌾Mengusap kedua sepatu hukumnya boleh dengan tiga syarat, yaitu:

1. Kedua sepatu mulai dipakai setelah benar-benar suci.
2. Kedua sepatu menutup bagian kki yang wajib dibasuh.
3. Kedua sepatu terbuat dari bahan yang tahan untuk terus dipakai berjalan.

Orang yang mukim (tinggal dirumah) boleh mengusap sepatunya selama sehari semalam, sedangkan orang yang musafir boleh selama tiga hari tiga malam. Waktunya dimulai ketika berhadats setelah memakai kedua sepatu. Jika seseorang mengusap sepatu ketika mukim kemudian melakukab safar, atau mengusap sepatu ketika safar kemudian mukim, maka dia menyempurnakan waktu mengusap sepatu untuk mukim.

📚Penjelasan :

1. Dalil yang menunjukkan bolehnya mengusap sepatu sebanyak sekali. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (380) dan Muslim (272), lafaz ini adalah redaksi Muslim, dari Jarir bin Abdullah, bahwa dia kencing, kemudian berwudhu dan mengusap kedua sepatunya. Seseorang bertanya kepadabnya, "Engkau melakukan ini?" Dia menjawab, "ya! Saya melihat Rasulullah Shallallahu wa sallam kencing, setelah itu beliau berwudhu dan mengusap kedua sepatunya.

Hasan Al-Basri berkata, "Riwayat tentang bolehnya mengusap kedua sepatu itu ada di tujuh puluh tempat, baik berbentuk perkataan maupun perbuatan.

2. Bukhari (203) dan Muslim (275) meriwayatkan dari Al-Mughirah bin Asy-Syu"bah, dia berkata "Kami bersama Nabi pada suatu malam dalam sebuah perjalanan. Saya memberikan bejana kepadanya. Beliau lalu membasuh wajahnya, membasuh kedua sikunya, dan mengusap kepalanya. Kemudian saya ingin membuka kedua sepatunya, maka beliau berkata, "Biarkanlah! Saya memasukkan keduanya dalam keadaan suci.

3. Muslim (276) dan selainnya diriwayatkan dari syuraih bin Hani" bahwa dia mendatangi Aisyah untuk bertanya tentang mengusap kedua sepatu, maka Aisyah menjawab,"Datangilah Ali karena dia lebih mengetahui hal ini daripada aku. Dia pergi melakukan perjalanan bersama Rasulullah Shallallahu "alaihi wasallam. "Kemudian saya menanyakan kepada Ali dan dia menjawab, "Rasulullah Shallallahu "alaihi wa sallam menetapkan tiga hari tiga malam untuk musafir dan sehari semalam untuk orang yang mukim.

💡Pembatal-pembatal Mengusap Sepatu

🌾Mengusap sepatu menjadi batal karen tiga hal, yaitu:

1. Melepas sepatu.
2. Habis jangka waktunya.
3. Terjadi sesuatu yang mengharuskan mandi.

📚Penjelasan:

Tirmidzi (96) dan Nasa"i (1/83), dengan redaksi milik Nasa"i, meriwayatkan dari Shafwan bin "Assal, dia berkata, "Jika kami melakukan perjalanan, Rasulullah Shallallahu "alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengusap sepatu kami dan tidak melepaskannya selama tiga hari; entah itu untuk buang air besar, buang air kecil, maupun tidur, kecuali karena junub."

(At-Tadzib fi Adillat Matan Al-Ghayat wa At-Taqrib Al-Masyhur bi Matan Abi Syuja` fi Al-Fiqh Asy-Syafi`i, Thaharah, DR. Musthafa Dib Al-Bugha)

Follow
✏twitter: @fajarardhys
📙channel telegram: @tetaplurus , @muhammadiyah
📚blog: http://tetaplurus.blogspot.co.id

Jumat, 27 November 2015

Talbis Iblis Dalam Membaca Al-Qur"an

💡Talbis Iblis Dalam Membaca Al-Qur"an

📚Iblis melancarkan Talbis-nya terhadap suatu kaum sehingga mereka memperbanyak membaca Al-Qur"an, tetapi mereka membacanya dengan sangat cepat, tanpa pemahaman dan tadabur, tidak tartil, dan tidak mengikuti aturan ilmu Tajwid.

Cara ini tidak terpuji!

Diriwayatkan dari sekelompok salaf bahwa merek bias mengkhatamkab Al-Qul"an setiap hari, atau hanya dalam satu rekaat shalat saja, tetapi sangat sedikit sekali dari merek yang mampu melakukannya secara terus menerus. Amalan ini memang dibolehkan, tetapi membaca dengan tartil dan sesuai aturan itu lebih disukai oleh para ulama.

Rasul Shallallahu"alaihi Wa sallam bersabda:
"Orang yang mengkhatamkan Al-Qul"an kurang dari tiga hari itu bukanlah orang yang paham."

Iblis menyarangkan talbis-nya terhadap sekelompol qari" sehingga merek membaca Al-Qur"an di menara-menara masjid pada waktu malam dengan suara bersama dan keras, satu atau dua juz. Itu artinya merek berkumpul untuk mengganggu orangka karen menghalangi merek dari tidur malam, disamping itu juga bernuansa pamer dan riya".

Ada di antara merek yang membaca Al-Qur"an di masjid pada waktu adzan dikumandangkan, sebab ketika itu orang-orang sedang berkumpul di dalam masjid.

Kejadian paling mengherankan, ketika kulihat seseorang yang shalat Subuh berjamaah pada hari Jum"at, kemudian dia berpaling dan membaca Mu"awwidzatain (surat An-Nas dan Al-Falaq) lalu mengucapkan doa khatam Al-Qur"an agar para makmum mengetahui bahwa dia telah khatam Al-Qur"an satu kali.

Ini bukan jalan yang ditempuh oleh ulama salaf!

Bahkan , mereka biasa menutupi ibadah mereka. Rabi" bin Khutsaim misalnya, seluruh amalannya dia sembunyikan. Kadang-kadang ada orang datang menemui dia ketika dia sedang membuka mushaf Al-Qur"an, lalu dia menutupinya dengan kain bajunya. Ahmad bin Hambal sangat sering membaca Al-Qur"an, tetapi tidak pernah diketahui kapan dia mengkhatamkannya.

(Talbis Iblis, Ibnul Jauzi)

Follow
✏twitter: @fajarardhys
📙channel telegram: @tetaplurus , @muhammadiyah
📚blog: tetaplurus.blogspot.co.id

Mandi yang Disunnahkan

💡Mandi yang Disunnahkan

🌾Mandi yang disunnahkan ada tujuh belas, yaitu:

1. Mandi ketika akan mengerjakan shalat jum"at.
2. Mandi ketika akan mengerjakan shalat idul fitri.
3. Mandi ketika akan mengerjakan shalat idul Adha.
4. Mandi ketika akan mengerjakan shalat istisqa`(meminta hujan).
5. Mandi ketika akan mengerjakan shalat khusuf (gerhana bulan) dan shalat kusuf (gerhana matahari).
6. Mandi setelah memandikan jenazah.
7. Mandi bagi oranf kafir setelah masuk islam.
8. Mandi bagi orang yang sembuh dari gila.
9. Mandi bagi orang yang sadar dari pingsan.
10. Mandi ketika akan mengerjakan ihram.
11. Mandi ketika akan memasuki Mekkah.
12. Mandi ketika akan wukuf di Arafah.
13. Mandi ketika akan mabit (bermalam) di muzdalifah.
14. Mandi ketika akan melempar tiga jumroh.
15. Mandi ketika akan mengerjakan thawaf.
16. Mandi ketika akan mengerkakan sa"i
17. Mandi ketika akan memasuki Madinah.

📚Penjelasan:

1. Mengenai mandi ketika akan mengerjakan shalat jumat; Bukhori (837), Muslim (844), dan selain keduanya dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah bersabda,

"Jika salah seorang di antara kalian pergi untuk mengerjakan shalat Jum"at, maka hendaknya dia mandi."
Perubahan hukumnya dari wajib menjadi sunnah adalah berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi (497),

"Barangsiapa berwudhu pada hari Jumat, maka dia telah mengamalkan sunnah dan itulah sebaik-baik sunnah. Barangsiapa mandi, maka mandi lebih baik."

2. Mengenai mandi ketika akan mengerjakan shalat "Id, imam malik dalam Al-Muwaththa" (1/177) meriwayatkan bahwa Abdullah bin Umat mandinketika Idul Fitri sebelum berangkat ke tempat shalat.
Idul Adha di qiyaskan dengan Idul Fitri.

3. Saya tidak mendapatkan dalil naqli tentang disunnahkan mandi ketika akan mengerjakan istisqo, khusuf, maupun kusuf. Mungkin para ulama menganggapnya sunnah dengan cara mengqiyaskannya dengan hari Jumat dan dua hari raya karena maknanya sama, yaitu dari sisi berjamaah dan orang-orang berkumpul untuk melaksanakannya.

4. Mengenai mandi setelah memandikan jenazah, Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi,  beliau bersabda,

"Barangsiapa memandikan mayat, hendaklah dia mandi. Barangsiapa memikulnya, hendaklah dia berwudhu."

Hadits ini diriwayatkan oleh imam hadits yang lima dan dinilai hasan oleh Tirmidzi (993). Perubahan hukumnya dari wajib menjadi sunnah adalah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Hakim (1/387)
"Kalian tidak harus mandi karena memandikan mayat kalian, yaitu jika kalian memandikannya."

Mengenai mandi bagi orang kafir setelah masuk islam, Abu Dawud (355) dan Tirmidzi (605) meriwayatkan dari Qais bin "Ashim, dia berkata,

"Saya mendatangi Nabi karena ingin masuk islam. Beliau lalu memerintahku untuk mandi denga air dan sidr, yaitu daun yang ditumbuk dari pohon tertentu."

Tirmidzi berkata setelah meriwayatkan hadits ini, "Hadits ini diamalkan menurut para ulama. Mereka menyatakan sunnah untuk mandi dan mencuci pakaiannya jika seorang laki-lali masuk islam"

6. Dalil disunnahkannya mandi bagi orang yang sadar dari pingsan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori (655) dan Muslim (418) dari Aisyah, dia berkata: "Penyakit Rasulullah parah. Beliau bertanya, "apakah orang-orang ini sudah shalat?" Kami menjawab, "Belum. Mereka menunggumu, wahai Rasulullah!""Beliau berkata, "Ambilkan untukku air sebaskom." Aidyah melanjutkan ceritanya, maka kamipun melakukannya. Kemudian beliau mandi. Tatkala bangkit dengan susah payah, beliau pingsan. Setelah itu sadar kembali.

Gila diqiyaskan dengan pingsan karena maknanya sama, bahkan gila lebih tibggi tingkatannya.

7. Mengenai mandi ketika akan mengerjakan ihram, Tirmidzi (830) meriwayatkan dari zaid bin Tsabit bahwa Nabi melepas pakaiannya untuk ihram dan mandi.

8. Mengenai mandi ketika akan memasuki Mekkah, Bukhari (1478) dan Muslim (1259) meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa jika berangkat ke Mekkah, dia tidak akan bermalam kecuali di Dzu Thuwa sampai pagi hari dan mandi. Kemudian masuk ke Mekkah ketika siang hari. Ibnu Umar menyebutkan bahwa Nabi melakukan itu.

9. Mengenai mandi ketika akan wukuf di Arafah. Imam malik meriwayatkan dalam Al-Muwaththa" (1/322) dari Ibnu Umar bahwa dia mandi karen ihram sebelum melakukan ihram karena memasuki Mekkah dan wukuf pada sore hari di Arafah.

10. Pendapat yang paling benar adalah tidak disunnahkan mandi ketika mabut di Muzdalifah. (Nihayah)

11. Pendapat yang dapat dijadikan sandaran adalah mandi untuk tawaf itu tidak disunnahkan. (Al-Iqna")

Follow
✏twitter: @fajarardhys
📙channel telegram: @tetaplurus , @muhammadiyah
📚blog: tetaplurus.blogspot.co.id

Selasa, 24 November 2015

Seputar Tayamum 3

💡Pembatal-pembatal Tayamum

🌾Perkara yang membatalkan tayamum ada tiga, yaitu:

1.) Semua perkara yang membatalkan wudhu.
2.) Melihat air di luar wakti shalat.
3.) Murtad.

Penjelasan:

📚Maksud melihat air di luar waktu shalat adalah ketika tidak sedang menunaikan shalat dan sebelum mengerjakannya. Tirmidzi (124) dan selainnya meriwayatkan dari Abu Dzar bahwa Rasulullah bersabda,

"Sesungguhnya tanah yang baik adalah suci bagi seorang muslim walaupun dia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Jika mendapatkan air, hendaknya dia berwudhu karena itu lebih baik."

Dalil ini menunjukkan bahwa tayamum batal jika ada air.
Orang yang dibalut perban harus mengusap bagian yang dibalut, bertayamum, dan mengerjakan shalat serta tidak perlu mengulanginya jika dia memakainya dalam keadaan suci.

🌾Tayamum harus dilakukan setiap shalat fardhu. Akan tetapi, boleh menunaikan shalat sunnah apapun dengan satu kali tayamum.

Penjelasan:

📚1.) Abu Dawud (336) dan selainnya meriwayatkan dari Jabir, dia berkata, "Kami melakukan perjalanan. Seseorang di antara kami terkena batu sehingga kepalanya terluka. Kemudian dia bermimpi dan bertanya kepada para sahabatnya, "Adakah keringanan bagiku untuk bertayamum?" Mereka menjawab, " Kami tidak mendapatkan keringanan bagimu karena engkau mampu memakai air." Kemudian dia mandi dan mati. Tatkala kami sampai kepada Rasulullah maka kami memberitahunya. Beliau berkata, "Mereka membunuhnya. Mudah-mudahan Allah membunuh mereka. Mengapa mereka tidak bertanya jika memang tidak mengetahui? Sesungguhnya obat kebodohan adalah bertanya. Sesungguhnya cukuplah baginya untuk bertayamum dan membalut lukanya, kemudian mengusapnya dan membasuh seluruh badannya."

📚2.) Baihaqi meriwayatkan dengan sanad shahih (1/221) dari Ibnu Umar dia berkata, "Bertayamum adalah untuk setiap kali shalat walaupun tidak berhadats."

(At-Tadzib fi Adillat Matan Al-Ghayat wa At-Taqrib Al-Masyhur bi Matan Abi Syuja` fi Al-Fiqh Asy-Syafi`i, Thaharah)

Follow
Twitter: @fajarardhys
Channel telegram: @muhammadiyah

Seputar Tayamum 2

💡Rukun Tayamum

🌾Rukun tayamum ada empat, yaitu:

1.) Niat.
2.) Mengusap wajah.
3.) Mengusap kedua tangan sampai kedua siku.
4.) Tertib.

Penjelasan:

📚Dalilnya adalah firmab Allah SWT,

"Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih). Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu."
(Al-Ma`idah[5]:6)

Kata "fatayammamuu" maksudnya adalah menyengajalah untuk bertayamum. Ini merupakan dalil yang menunjukkan wajibnya niat disertai dengan hadits, "Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung niatnya."

Maksud tanah yang baik adalah tanah yang suci.

💡Sunnah Tayamum

🌾Sunnah tayamum ada tiga, yaitu:

1.) Membaca basmalah.
2.) Mendahulukan bagian kanan dari bagian kiri.
3.) Dilakukan secara beruntun tanpa berhentu.

Penjelasan:

📚Rukun ini berdasarkan rukun dalam wudhu karena tayamum adalah ganti dari wudhu.

(At-Tadzib fi Adillat Matan Al-Ghayat wa At-Taqrib Al-Masyhur bi Matan Abi Syuja` fi Al-Fiqh Asy-Syafi`i, Thaharah)

Follow
Twitter: @fajarardhys
Channel telegram: @muhammadiyah

Seputar Tayamum 1

💡Syarat Tayamun

🌾Syarat tayamum ada lima, yaitu:

1.) Ada udzur, baik karena perjalanan atau sakit.
2.) Masuk waktu shalat.
3.) Telah berusaha mencari air, tetapi tidak didapat.
4.) Ada air, tetapi sulit untuk menggunakannya (karena air yang tersedi hanya sedikit dan dibutuhkan untuk minum manusia ataupun hewan).
5.) Tersedia tanah yang suci yang mengandung debu. Jika bercampur kapur atau pasir, maka tidak cukup.

Penjelasan:

📚Mengenai udzur, Allah SWT berfirman,

"Dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, laku kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah."
(Al-Ma`idah[5]:6)

Dalam Bukhari (241) dan Muslim (682) meriwayatkan dari Imran bin Hushain, dia berkata, "Kami bersama Rasulullah melakukan perjalanan. Ketika beliau shalat bersama orang banyak, seorang laki-laki menjauh. Beliau bertanya, "Apa yang menghalangimu (untuk shalat)?" Orang itu menjawab, "Saya junub dan tidak ada air." Beliau bersabda, "Bertayamumlah dengan tanah karen itu cukup bagimu."

📚Mengenai masuknya waktu shalat, Bukhari (328) meriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi bersabda,

"Bumi dijadikan untukku sebagai tempat sujud dan suci. Siapa saja diantara umatku yang mendapati waktu shalat, hendaklah ia shalat."

Dalam riwayat Ahmad (2/222) disebutkan,

"Dimana saja saya mendapatkan waktu shalat, maka saya mengusap (tanah) dan shalat."

Dua riwayat ini menunjukkan bahwa Rasulullah bertayamum dan shalat jika tidak mendapatkan air setelah masuk waktu shalat.

(At-Tadzib fi Adillat Matan Al-Ghayat wa At-Taqrib Al-Masyhur bi Matan Abi Syuja` fi Al-Fiqh Asy-Syafi`i, Thaharah)

Follow
Twitter: @fajarardhys
Channel telegram: @muhammadiyah

Hukum Meninggalkan Sholat

💡Hukum Meninggalkan Sholat

Orang yang meninggalkan sholat itu terbagi dua:

🌾Pertama: orang yang meninggalkan shalat karena tidak meyakini wajibnya shalat. Hukum orang seperti ini sama dengan hukum orang yang murtad.

📚Penjelasan: orang yang meninggalkan shalat karena tidak meyakini wajibnya shalat harus diminta untuk bertaubat. Taubatnya adalah dengan mengerjakan shalat seraya mengumumkan keyakinannya tentang wajibnya shalat. Jika tidak mau bertaubat, dia dibunuh sebagai orang kafir. Mayatnya tidak dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak dikuburkan dipemakaman kaum muslimin. Hadits yng diriwayatkan imam muslim (82)
Rasulullah bersabda: "sesungguhnya batas antara seseorang dengan kekufuran dan syirik adalah meninggalkan shalat."

🌾Kedua: orang yang meninggalkan shalat karena malas, tetapi masih meyakini wajibnya shalat. Orang seperti ini diminta untuk bertaubat. Jika mau bertaubat dan mengerjakan shalat, dia dibebaskan. Jika tidak mau, dia dibunuh sebagai had. Hukum mayatnya sama dengan hukum mayat kaum muslimin.

📚Penjelasan: orang yang meninggalkan shalat karena malas, tetapi masih meyakini wajibnya shalat. Orang seperti ini diminta untuk bertaubat. Jika mau bertaubat dan mengerjakan shalat, dia dibebaskan. Jika tidak mau, dia dibunuh sebagai had. Maksudnya, sebagai hukuman karena meninggalkan kewajiban yang mengharuskannya untuk diperangi. Hal ini ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh imam bukhori (25) dan imam muslim (22) dari ibnu umar bahwa Rasulullah bersabda: "saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bagwa tiada yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utuasan Allah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Jika melakukannya, maka terjagalah darah dan harta mereka, kecuali berdasarkan hak islam, sedangkan perhitungannya dikembalikan kepada Allah."

Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat harus diperangi jika tidak mengerjakan shalat, tetapi dia tidak dikafirkan.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (1420) dan selainnya dari Ubadah bin Ash-Shamit, dia berkata,
" Saya mendengar Rasulullah berasabda: "Ada lima shalat yang diwajibkan oleh Allah kepada para hambaNya. Barangsiapa mengerjakannya dan tidak meninggalkannya karena meremehkannya, niscaya dia mendapatkan janji dari Allah untuk memasukkannya ke surga. Barangsiapa tidak mengerjakannya, maka dia tidak mendapatkan janji itu dariNya. Jika Allah berkehendak, Dia akan menyiksanya, dan jika Allah berkehendak, Dia akan (memaafkannya) dan memasukkannya ke surga."

Hadits diatas menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat tidak dikafirkan. Sebab jika dikafirkan, maka dia tidak akan masuk kategori sabdanya, "Jika Allah berkehendak, Dia akan (memaafkannya) dan memasukkannya ke surga. Orang kafir pasti tidak akan masuk ke dalam surga. Oleh karena itu, hadits ini ditunjukkan kepada orang yang meninggalkan shalat karena malas, sebagai bentuk kompilasi diantara dalil-dalil yang ada.

(At-Tadzib fi Adillat Matan Al-Ghayat wa At-Taqrib Al-Masyhur bi Matan Abi Syuja` fi Al-Fiqh Asy-Syafi`i, Bab Hukum Meninggalkan Shalat)

Follow
Twitter: @fajarardhys
Telegram: @muhammadiyah

Sabtu, 07 November 2015

Kapan Dibolehkan Memberontak?

  Asy-Syaikh Muhammad Ibnu ‘Utsaimin t mengatakan, “Hendaknya diketahui bahwa memberontak (kudeta) kepada penguasa adalah tidak diperbolehkan kecuali dengan syarat-syarat. Rasulullah telah menerangkannya sebagaimana dalam hadits ‘Ubadah bin ash-Shamit :

بَايَعْنَا رَسُوْلَ اللهِ n عَلىَ السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنا وَأَلاَّ نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ، قَالَ: إِلاَّ أَنْ تَرَوْا
كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ فِيْهِ مِنَ اللهِ بُرْهَانٌ

“Kami berbai’at kepada Rasulullah untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan kami giat atau tidak suka, susah atau mudah, dalam keadaan mereka mengutamakan diri mereka daripada kami dan agar kami tidak merebut urusan (kepemimpinan) dari pemiliknya. Beliau bersabda, ‘Kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata yang kalian memiliki bukti padanya dari Allah’.”

Dari hadits di atas kita bisa mengambil pelajaran tentang syarat-syarat kapan dibolehkan melakukan pemberontakan kepada pemerintah.
Syarat pertama: Kita melihat, yang maknanya kita mengetahui dengan ilmu yang yakin bahwa penguasa telah melakukan kekafiran.

Syarat kedua: Apa yang dilakukan oleh penguasa adalah benar-benar kekafiran. Bila masih tergolong perbuatan kefasikan maka tidak boleh memberontak bagaimanapun besar kefasikan yang dilakukan penguasa.

Syarat ketiga: Dilakukan dengan terang dan jelas, tanpa mengandung penafsiran lain.

Syarat keempat: Kita memiliki bukti dari Allah, dalam hal ini, yakni hal itu berdasarkan bukti yang pasti dari dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma’ umat.

Syarat kelima: Diambil dari dasar-dasar umum agama Islam yaitu kemampuan mereka (rakyat) untuk menumbangkan penguasa. Jika tidak punya kemampuan, maka akan terbalik, sehingga malah mencelakakan rakyat yang justru menimbulkan mudarat yang jauh lebih besar daripada mudarat yang akan diakibatkan jika mendiamkan penguasa tersebut… (Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 277—278)

 Asy-Syaikh Ibnu Baz  mengatakan, “Tidak boleh memberontak kepada penguasa dan memecah tongkat ketaatan kecuali jika didapati pada penguasa itu kekafiran yang nyata yang ada buktinya dari Allah, di sisi para pemberontak dan mereka mampu untuk itu (melakukan pemberontakan) dengan cara yang tidak menimbulkan kemungkaran dan kerusakan yang lebih besar.” (Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 185)

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Adapun menyikapi penguasa yang kafir (jika benar-benar kafir sebagaimana perincian di atas, red.) maka (menyikapinya) berbeda-beda sesuai dengan keadaannya. Jika kaum muslimin punya kekuatan dan mereka mampu untuk menyingkirkan (penguasa kafir itu) dari kekuasaannya serta menggantikan dengan penguasa muslim maka hal itu wajib atas mereka, dan ini termasuk jihad di jalan Allah. Adapun jika mereka tidak mampu menyingkirkannya maka tidak diperbolehkan bagi mereka melawan orang-orang zalim dan kafir, karena ini akan mengakibatkan kebinasaan kaum muslimin. Nabi n hidup di Makkah selama 13 tahun setelah kenabian dalam keadaan kepemimpinan waktu itu di tangan orang-orang kafir, dan bersama beliau (telah ada) para sahabat yang masuk Islam akan tetapi beliau tidak melawan orang-orang kafir itu. Bahkan mereka (para sahabat) dilarang untuk melawan orang-orang kafir di masa itu.” (Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 287—288)
Perlu diketahui bahwa berhukum dengan selain hukum Allah tidak termasuk kekufuran yang nyata akan tetapi termasuk kufrun duna kufrin atau kufur kecil kecuali jika:

1.    Meyakini bahwa selain hukum Allah lebih baik dari hukum Allah.
2.    Meyakini bahwa berhukum dengan selain hukum Allah, boleh dan sama dengan hukum Allah.
3.    Meyakini bahwa berhukum dengan selain hukum Allah, boleh walaupun meyakini bahwa hukum Allah lebih baik dari hukum selainnya. (Fatwa asy-Syaikh Ibnu Baz dalam Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 91)

Wallahu a’lam.

Pelajaran dari Sejarah Munculnya Khawarij

Pelajaran dari Sejarah Munculnya Khawarij

Sungguh, dengan mengenali sejarah generasi awal Khawarij akan menumbuhkan sikap waspada terhadap mereka. Sebab, mereka akan senantiasa muncul, hingga Dajjal muncul di tengah-tengah mereka, sebagaimana yang diberitakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Cikal bakal mereka yang paling awal adalah seseorang yang bernama Dzul Khuwaishirah. Jenggotnya tebal, tulang pipinya menonjol, kedua matanya cekung, dahinya timbul, dan kepalanya gundul. Dia berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang membagi ghanimah (harta rampasan perang) Perang Hunain, “Berbuat adillah, wahai Muhammad!”— atau—“Bertakwalah engkau, wahai Muhammad!”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Siapa lagi yang akan menaati Allah kalau aku bermaksiat kepada-Nya? Allah telah memercayaiku (untuk diutus) terhadap penduduk bumi, namun kalian tidak memercayaiku?”
Lelaki itu kemudian berpaling. Setelah itu, ada seorang sahabat yang hadir—disebutkan bahwa dia adalah Khalid bin al-Walid—meminta izin kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membunuhnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, dari tulang sulbi orang itu akan keluar sekelompok orang yang membaca al-Qur’an, namun tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka membunuh para pemeluk Islam, namun membiarkan para penyembah berhala. Mereka keluar dari Islam sebagaimana melesatnya anak panah dari binatang buruannya. Jika aku mendapati mereka, sungguh aku akan memerangi mereka sebagaimana kaum Ad diperangi.” (HR. Muslim)
Awal munculnya mereka dalam bentuk kelompok ialah pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Terjadi perselisihan antara mereka dan Ali radhiallahu ‘anhu, ketika Ali menunjuk orang sebagai hakim dalam perselisihannya dengan Mu’awiyah radhiallahu ‘anhuma dalam rangka menjaga agar darah kaum muslimin tidak ditumpahkan.
Sepulang dari Syam setelah peristiwa Shiffin, Ali radhiallahu ‘anhu memasuki Kufah. Saat memasuki Kufah, sekelompok pasukannya memisahkan diri dari Ali radhiallahu ‘anhu. Disebutkan bahwa jumlah kelompok itu sekitar 16 ribu orang atau 12 ribu orang. Ada juga yang menyebutkan jumlah kurang dari itu.
Mereka memisahkan diri dari Ali lalu memberontak kepada beliau. Mereka mengingkari Ali radhiallahu ‘anhu dalam beberapa masalah. Ali radhiallahu ‘anhu lalu mengutus Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma untuk menemui mereka untuk berdialog dalam beberapa masalah tersebut dan membantah syubhat mereka. Urusan yang mereka persoalkan sebenarnya tidak ada hakikatnya. Sebagian mereka rujuk kepada kebenaran, namun sebagian yang lain tetap bersikeras dalam kesesatan mereka.
Selanjutnya, Ali radhiallahu ‘anhu sendiri yang keluar menemui mereka yang tersisa. Beliau radhiallahu ‘anhu terus-menerus berdialog dan mendebat mereka hingga mereka kembali bersama Ali radhiallahu ‘anhu ke Kufah. Mereka kemudian mulai menentang ucapan beliau dan memperdengarkan cercaan terhadap beliau. Selain itu, ayat-ayat tentang syirik dan kekafiran terhadap Allah mereka tujukan kepada diri Ali radhiallahu ‘anhu.
Ibnu Jarir rahimahullah menyebutkan, suatu hari Ali radhiallahu ‘anhu sedang berpidato. Ketika itu, berdirilah salah seorang Khawarij dan berkata, “Wahai Ali, engkau telah berbuat syirik dalam agama Allah dengan (menunjuk) manusia (sebagai hakim). La hukma illa lillah (Tidak ada hukum kecuali milik Allah).”
Lantas bersahutanlah suara dari setiap sudut, “La hukma illa lillah, la hukma illa lillah.”
Ali radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Ini adalah kalimat yang benar, tetapi yang diinginkan dengannya adalah kebatilan.”
Beliau kemudian berkata, “Kalian memiliki hak atas kami untuk kami tidak menghentikan pemberian fai’ selama tangan kalian masih (berbai’at) bersama kami, kami tidak menghalangi kalian mendatangi masjid-masjid Allah, dan kami tidak akan memulai memerangi kalian sampai kalian sendiri yang memulai memerangi kami.”
Setelah itu, kaum Khawarij berkumpul di tempat tinggal Abdullah bin Wahb ar-Rasibi. Abdullah bin Wahb berpidato di hadapan mereka dengan ucapan yang menggugah mereka. Dia menumbuhkan sikap zuhud terhadap dunia, mendorong mereka untuk urusan akhirat dan surga, dan memberi semangat mereka untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Setelah, itu naiklah Hurqus bin Zuhair berpidato, dilanjutkan oleh Zaid bin Hishn, yang juga menyemangati mereka untuk beramar ma’ruf nahi mungkar. Dia membaca beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya firman Allah ‘azza wa jalla,

يَٰدَاوُۥدُ إِنَّا جَعَلۡنَٰكَ خَلِيفَةٗ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَٱحۡكُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلۡهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ

“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (Shad: 26)

وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٤٤

“Barang siapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (al-Maidah: 44)

Demikian pula ayat yang selanjutnya, yang menyebutkan “mereka itu adalah orang-orang yang zalim” dan “mereka itu adalah orang-orang yang fasik”.
Setelah itu, dia berkata, “Aku mempersaksikan bahwa orang-orang yang kita dakwahi, orang-orang yang sama kiblatnya dengan kita, bahwa mereka telah mengikuti hawa nafsu, mencampakkan hukum al-Qur’an, zalim dalam hal ucapan dan amalan, serta bahwa berjihad melawan mereka adalah sebuah keharusan bagi kaum mukminin.”
Menangislah seseorang di antara mereka yang bernama Abdullah bin Sakhbarah. Dia pun memprovokasi mereka untuk melakukan pemberontakan. Dia berkata, “Tikamlah wajah dan kening mereka dengan pedang, sehingga ditaatilah Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.”
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan, “Manusia jenis ini adalah keturunan Adam yang paling aneh. Mahasuci Dzat yang telah menciptakan makhluk-Nya beraneka ragam sesuai dengan kehendak-Nya, dan telah terdahulu dalam takdir Allah Yang Mahaagung.
Betapa bagusnya ucapan sebagian salaf, bahwa mereka (Khawarij) lah yang disebutkan dalam firman Allah ‘azza wa jalla,

قُلۡ هَلۡ نُنَبِّئُكُم بِٱلۡأَخۡسَرِينَ أَعۡمَٰلًا ١٠٣ ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعۡيُهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَهُمۡ يَحۡسَبُونَ أَنَّهُمۡ يُحۡسِنُونَ صُنۡعًا ١٠٤

Katakanlah, “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (al-Kahfi: 103—104)

Ringkasnya, mereka yang bodoh, sesat, celaka dalam hal ucapan dan perbuatan ini, bersepakat untuk memberontak di tengah-tengah kaum muslimin. Mereka bersepakat pergi menuju Madain untuk merebutnya kemudian berlindung di dalamnya. Mereka pun mengirim utusan kepada saudara-saudara dan teman-teman mereka yang memiliki pemikiran serupa di Basrah dan kota lainnya. Orang-orang tersebut memenuhi ajakan tersebut dan bergabung dengan mereka.

Zaid bin Hishn berkata, “Madain tidak mampu kalian kuasai. Di sana ada pasukan yang tidak mampu kalian hadapi, yang akan menghalangi kalian memasukinya. Buatlah kesepakatan dengan teman-teman kalian untuk pergi ke arah jembatan Sungai Jaukha. Janganlah kalian keluar dari Kufah secara berkelompok, tetapi seorang demi seorang agar tidak ada yang menyadari kalian.”
Mereka menulis surat terbuka kepada penduduk Basrah dan kota lainnya yang memiliki pemikiran dan tindakan yang sama dengan mereka. Mereka mengirimkan pesan tersebut agar bergabung di sisi sungai, agar mereka menjadi satu kekuatan menghadapi manusia.
Setelah itu, mereka keluar secara sembunyi-sembunyi, seorang demi seorang, agar tidak diketahui. Jika ada yang tahu, tentu mereka akan dihalangi sehingga tidak bisa memisahkan diri dari ayah, ibu, paman, dan seluruh kerabat sehingga mereka memutus tali silaturahim.

Dengan kebodohan, pendeknya akal, dan sedikitnya ilmu, mereka berkeyakinan bahwa perbuatan mereka ini membuat Allah ‘azza wa jalla—Rabb langit dan bumi—ridha. Mereka tidak tahu bahwa tindakan mereka tersebut termasuk salah satu dosa besar yang membinasakan, problem berat, dan kesalahan. Mereka tidak sadar bahwa perbuatan mereka merupakan hasil hiasan Iblis—yang terlaknat, diusir dari langit, dan telah memancangkan tonggak permusuhan kepada bapak kita, Adam dan keturunannya selama ruh mereka masih ada dalam jasad. Hanya Allah sajalah Dzat yang kita minta untuk melindungi kita dengan daya dan upaya dari-Nya. Sesungguhnya, Dialah Dzat yang mengabulkan doa-doa.

Sekelompok orang berhasil menyusul sebagian anak dan saudara mereka lantas memulangkannya, memberi pelajaran, dan menyatakan buruknya perbuatan orang-orang tersebut. Di antara mereka ada yang kemudian istiqamah di atas kebenaran, namun ada pula yang melarikan diri. Yang melarikan diri kemudian bergabung dengan Khawarij. Dia pun ditimpa kerugian hingga hari kiamat.
Kaum Khawarij yang tersisa ini akhirnya pergi ke tempat yang direncanakan. Penduduk Basrah dan kota lainnya yang mereka kirimi pesan dahulu memenuhi ajakan mereka. Mereka semua berkumpul di Nahrawan. Mereka memiliki kekuatan dan menjadi pasukan tersendiri. Mereka berani dan berkeyakinan bahwa perbuatan mereka ini adalah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla. Sungguh, amat buruklah sangkaan dan kesalahan mereka.

Ketika Ali radhiallahu ‘anhu sedang menyiapkan pasukan menuju Syam dan berpidato memberi semangat pasukannya, sampai kepada beliau berita bahwa Khawarij telah membuat kerusakan di muka bumi, menumpahkan darah yang tidak boleh ditumpahkan, merampok di jalan, dan menganggap halal para wanita.

Di antara yang mereka bunuh ialah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abdullah bin Khabbab radhiallahu ‘anhu. Mereka menawan Abdullah dan istrinya yang sedang hamil. Mereka bertanya, “Siapa engkau?”
Abdullah menjawab, “Aku Abdullah bin Khabbab, sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalian telah membuatku takut.”
Mereka berkata, “Engkau tidak apa-apa. Sampaikanlah hadits yang pernah engkau dengar dari ayahmu.”
Abdullah berkata, “Aku mendengar ayahku berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَتَكُونُ فِتْنَةٌ، الْقَاعِدُ فِيهَا خَيْرٌ مِنَ الْقَائِمِ، وَالْقَائِمُ خُيْرٌ مِنَ الْمَاشِي، وَالْمَاشِي خَيْرٌ مِنَ السَّاعِي

“Akan terjadi fitnah, orang yang duduk saat itu lebih baik daripada yang berdiri, yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan, dan yang berjalan lebih baik daripada yang berlari kecil.”

Mereka lalu mengikat tangan Abdullah. Ketika sedang berjalan bersama beliau, mereka pun mendapati seekor babi milik kafir dzimmi. Sebagian mereka membunuhnya dan merobek kulitnya. Sebagian yang lain berkata, “Mengapa kalian lakukan ini, padahal babi itu milik seorang kafir dzimmi?” Yang membunuh babi tersebut kemudian pergi menuju kafir dzimmi pemilik babi, dan meminta kehalalan perbuatannya dan membuatnya ridha.

Ketika Abdullah masih bersama mereka, ada buah kurma yang jatuh dari pohon. Salah seorang mereka memungutnya lantas memasukkannya ke dalam mulut. Ada yang berkata kepadanya, “(Engkau mengambil dan memakannya) tanpa izin dan tanpa harga?”
Dia pun segera mengeluarkan kurma tadi dari mulutnya. Namun, bersamaan dengan sikap wara’ ini, mereka membunuh Abdullah bin Khabbab, seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihatlah sikap wara’ dusta ini.

Setelah itu, mereka mendatangi istri Abdullah. Istri Abdullah berkata, “Aku sedang hamil. Tidakkah kalian takut kepada Allah?”
Mereka tetap membunuhnya, bahkan kemudian merobek perutnya untuk mengeluarkan janinnya.
Ketika sampai kepada kaum muslimin bahwa begitulah perbuatan mereka, kaum muslimin khawatir apabila pergi ke Syam dan sibuk berperang dengan penduduknya, sementara kaum Khawarij tertinggal di sekitar rumah dan negeri mereka dengan perbuatan tersebut.

Ali radhiallahu ‘anhu pun mengirim al-Harits bin Murrah al-‘Abdi sebagai utusannya kepada Khawarij. Namun, mereka membunuhnya tanpa peringatan. Ketika hal ini terdengar oleh Ali radhiallahu ‘anhu, beliau bertekad kuat untuk pergi menghadapi Khawarij terlebih dahulu sebelum pergi ke Syam. Beliau dan pasukannya berangkat dan berkumpul di sana.
Ali radhiallahu ‘anhu kembali mengirim utusan untuk menyampaikan, “Serahkan para pembunuh saudara kami agar kami balas membunuhnya (dengan qishash). Setelah itu, kami akan tinggalkan kalian dan pergi ke negeri Arab. Semoga setelah itu Allah mengarahkan hati kalian kepada sesuatu yang lebih baik daripada apa yang sekarang kalian berada di atasnya.”
Mereka menjawab, “Kami semua yang membunuh saudara-saudaramu. Kami anggap halal darah kalian dan darah mereka (yang telah kami bunuh).”

Qais bin Sa’d kemudian menemui mereka. Ia menasihati mereka tentang urusan besar dan kesalahan berat yang telah mereka lakukan. Namun, nasihat tersebut tidak bermanfaat.
Demikian pula Abu Ayyub al-Anshari radhiallahu ‘anhu. Beliau memarahi dan mencela mereka. Namun, tidak bermanfaat juga. Akhirnya, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sendiri yang mendatangi mereka. Beliau radhiallahu ‘anhu menasihati dan menakut-nakuti mereka. Beliau radhiallahu ‘anhu peringatkan dan mengancam mereka. Di antara ucapan beliau kepada mereka, “Sungguh, hawa nafsu kalian telah membujuk kalian. Kalian telah membunuh kaum muslimin. Demi Allah, kalau kalian membunuh seekor ayam milik mereka, sungguh hal itu sangat besar dosanya di sisi Allah. Lantas bagaimana halnya dengan darah kaum muslimin?”
Mereka tidak menjawab kecuali saling menyeru di antara mereka, “Jangan kalian berdialog dengannya. Jangan kalian berbicara dengannya. Bersiaplah untuk bertemu dengan Rabb ‘azza wa jalla. Bergegaslah, bergegaslah menuju surga.”

Inilah seruan Khawarij, baik di masa silam maupun sekarang. Mereka pun maju dan membentuk barisan untuk berperang. Mereka bersiap sedia untuk bertempur. Mereka berdiri untuk memerangi Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersama beliau.
Kaum Khawarij beramai-ramai menuju Ali radhiallahu ‘anhu. Beliau radhiallahu ‘anhu telah menyiapkan pasukan berkuda dan pemanah di depan beliau, barisan pejalan kaki di belakang pasukan berkuda. Beliau berkata kepada pasukannya, “Tahanlah diri kalian, sampai mereka yang lebih dahulu menyerang.”
Kaum Khawarij datang seraya mengatakan, “La hukma illa lillah. Bergegaslah, bergegaslah menuju surga.”

Mereka pun menyerang pasukan berkuda yang disiapkan oleh Ali radhiallahu ‘anhu. Sebagian pasukan berkuda tersudut ke kanan, sebagian lagi ke arah kiri. Mereka pun dihadapi oleh pasukan pemanah dengan anak panah yang diarahkan ke wajah mereka. Setelah itu, pasukan berkuda menyerang mereka dari arah kanan dan kiri. Kemudian pasukan pejalan kaki menyerang mereka dengan tombak dan pedang. Pasukan Ali radhiallahu ‘anhu berhasil membunuh kaum Khawarij yang lantas bergelimpangan menjadi mayat di bawah kaki-kaki kuda. Terbunuhlah pimpinan mereka Abdullah bin Wahb ar-Rasibi, Hurqus bin Zuhair, Syuraih bin Aufa, dan Abdullah bin Sakhbarah. Semoga Allah menjelekkan mereka.

Abu Ayyub al-Anshari radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Aku menusuk seorang Khawarij dengan tombak dan aku tembuskan hingga ke punggungnya. Aku katakan kepadanya, ‘Bergembiralah engkau, wahai musuh Allah, dengan neraka.’ Ternyata si Khawarij ini menjawab, “Engkau akan tahu nanti, siapa yang lebih pantas masuk ke dalamnya’.” Bayangkan, dia katakan hal itu kepada seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ali radhiallahu ‘anhu pun mulai berjalan di antara mayat mereka dan berkata, “Kejelekan bagi kalian. Sungguh, yang menipu kalian telah memudaratkan kalian.”
Mereka bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, siapakah yang telah menipu mereka?”
Ali menjawab, “Setan, dan jiwa yang selalu memerintah kepada kejelekan. Jiwa itu menipu mereka dengan angan-angan dan menghias-hiasi kemaksiatan untuk mereka. Jiwa itu memberitahu bahwa mereka akan membantunya.”

Ali radhiallahu ‘anhu kemudian memerintahkan agar kaum Khawarij yang terluka dikembalikan kepada kabilah mereka masing-masing untuk diobati. Jumlah mereka sekitar empat ratus orang. Ali radhiallahu ‘anhu membagi-bagi senjata dan barang yang tersisa dari mereka.
Ali radhiallahu ‘anhu kemudian keluar untuk mencari seorang lelaki yang dijadikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tanda kaum Khawarij. Kedua lengan atau salah satunya seperti payudara wanita. Beliau radhiallahu ‘anhu menemukannya di sebuah lubang di tepi sungai, bersama dengan 40 atau 50 mayat lainnya. Ketika menemukannya, Ali radhiallahu ‘anhu pun sujud kepada Allah dengan sujud yang lama, sebagai bentuk rasa syukur kepada-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan kepada kita ciri-ciri Khawarij dan pahala yang besar bagi yang membunuh mereka di bawah komando pemerintah, atau terbunuh oleh mereka. Ali radhiallahu ‘anhu menyampaikan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَيَخْرُجُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ أَحْدَاثُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلَامِ يَقُولُونَ مِنْ قَوْلِ خَيْرِ الْبَرِيَّةِ يَقْرَؤُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ
مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّ فِي قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Akan keluar di akhir zaman nanti, sekelompok orang yang masih muda umurnya dan berpemikiran bodoh (tidak punya hikmah). Mereka mengatakan ucapan makhluk yang terbaik. Mereka membaca al-Qur’an, tetapi tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat keluar dari agama ini sebagaimana halnya melesatnya anak panah dari binatang buruannya. Apabila kalian mendapati mereka, bunuhlah mereka. Sebab, orang yang membunuh mereka akan mendapatkan pahala di sisi Allah pada hari kiamat.”

Demikian pula hadits-hadits lainnya. Dari peristiwa ini kita ketahui bahwa:
Perjuangan Khawarij adalah untuk mendapatkan kekuasaan dan dunia.
Mereka menujukan ayat-ayat tentang kekafiran dan kesyirikan kepada pemerintah.
Mereka mengafirkan hakim sekaligus orang yang berhukum kepadanya.
Mereka tidak akan ridha terhadap seorang hakim, seadil apa pun dia, apabila bukan dari kelompok mereka dan sejalan dengan pemahaman mereka.

Mereka tidak ridha dengan pembagian dan hukum yang ditentukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka juga tidak ridha terhadap Utsman radhiallahu ‘anhu seingga mereka membunuh beliau. Mereka juga tidak ridha dengan Ali radhiallahu ‘anhu dan para sahabat terbaik yang bersama beliau. Bagaimana mungkin mereka akan ridha terhadap pemerintah-pemerintah kita sekarang ini?
Mereka menipu manusia dengan penampilan religius, slogan amar ma’ruf nahi mungkar, dan upaya perbaikan. Akan tetapi, sungguh mereka adalah orang yang paling jauh dari hakikat agama dan sunnah.

Mereka tidak segan menumpahkan darah kaum muslimin.
Mereka membunuh orang yang tidak bersalah, wanita, sampaipun bayi yang masih dalam kandungan. Hal ini sebagaimana yang mereka lakukan terhadap Abdullah bin Khabbab radhiallahu ‘anhu.
Disebutkan pula dalam hadits, “Mereka membunuh para pemeluk Islam, namun membiarkan para penyembah berhala.”

Peristiwa ini tidak hanya terjadi sekali, tetapi berulang. Apabila kita melihat kenyataan kita sekarang, engkau dapati kaum Khawarij terus-menerus ada.
Bahkan, kaum Khawarij sekarang lebih jelek daripada generasi yang terdahulu. Kaum Khawarij terdahulu menampakkan shalat, ibadah, dan membaca al-Qur’an, secara lahiriah. Adapun Khawarij sekarang tidak memiliki agama. Agama mereka adalah penipuan dan khianat. Bacaan mereka pun bukan al-Qur’an, melainkan nasyid-nasyid provokatif.

Ketika kaum Khawarij terdahulu meninggalkan ulama dari kalangan para sahabat radhiallahu ‘anhum, bahkan mengafirkannya, mereka pun sesat dan menyimpang. Ini merupakan sebab terbesar jatuhnya seseorang dalam kesesatan. Demikian pula Khawarij masa kini, ketika mereka mencela dan mengafirkan ulama kita, mengatakan bahwa ulama kita sebagai budak penguasa dan sebutan jelek lainnya, mereka pun menyimpang dan sesat.

Oleh karena itu, berpegang teguhlah dengan Kitabullah dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, engkau akan berjalan di atas ashshirathal mustaqim (jalan yang lurus).
Semoga Allah mengokohkan kita di atas as-Sunnah. Kita berlindung kepada Allah dari segala keburukan, yang tampak maupun yang tersembunyi. Semoga Allah memberikan keamanan di negeri kita dan menjadikannya—serta negeri-negeri kaum muslimin yang lain—sebagai negeri yang baik dan damai.

(Dipetik dari khutbah Jum’at yang disampaikan oleh Asy-Syaikh Dr. Khalid bin Dhahwi bin azh-Zhafiri di Masjid as-Sa’idi, Jahra, Kuwait, 25 Syawwal1435 H/ 22 Agustus 2014 M)

‎Wahabi‬ adalah Golongan Musyabbihah dan Mujassimah??

#‎Wahabi‬ adalah Golongan Musyabbihah dan Mujassimah??
Oleh Ust. Abul-Jauzaa
****
Tanya : Saya sering membaca beberapa tulisan berikut perkataan beberapa orang yang mengatakan Wahabi itu adalah golongan musyabihah dan mujasimah. Sesat. Itu dikarenakan mereka menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Sebagai orang Wahabi, menurut Anda apakah semua hal itu benar?
-
Jawab : Perkataan-perkataan semacam itu memang banyak dituliskan dan diucapkan oleh orang yang anti terhadap dakwah tauhid yang dibawa oleh Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumallah sehingga mereka menyebutnya ‘Wahabi’. Bahkan era sebelum itu, yaitu untuk Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul-Qayyim rahimahumallah, mereka juga dituduh sebagai Wahabi. Ini kan namanya tuduhan yang membabi buta.
-
‘Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dalam sifat-sifat Allah ta’ala adalah beriman kepada sifat-sifat-Nya sebagaimana yang terdapat dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tasybih/tamtsil, serta mengimani bahwa Allah itu tidak serupa dengan sesuatu apapun. Tanpa tahriif artinya tanpa menyelewengkannya dari makna yang benar. Tanpa ta'thiil artinya tanpa meniadakan/mengingkarinya (sifat-sifat Allah), baik sebagian atau seluruhnya. Tanpa takyiif artinya tanpa menanyakan bagaimana hakekat sebenarnya dari sifat Allah. Tanpa tamtsiil/tasybiih artinya tanpa menyamakan sifat-sifat Allah ta'ala dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
-
Asy-Syaikh Muhammad bin 'Abdil-Wahhaab rahimahumallah berkata:
"Sesuatu yang kami yakini dan kami beragama kepada Allah dengannya adalah madzhab salaful-ummah dan para imamnya dari kalangan shahabat, taabi'iin, dan yang mengikuti mereka dengan baik dari imam yang empat dan para pengikutinya radliyallaahu 'anhum.
Yaitu, beriman kepada ayat-ayat dan hadits-hadits sifat, mengakuinya, membiarkannya sebagaimana datangnya, tanpa tasybiih, tamtsiil, dan ta'thiil. Allah ta'ala berfirman : 'Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali' (QS. An-Nisaa' : 115)" [Asy-Syaikh Muhammad bin 'Abdil-Wahhaabm 'Aqiidatuhu As-Salafiyyah wa Da'watuhu Al-Ishlaahiyyah oleh Ahmad bin Hajar Aalu Buuthaamiy, hal. 51].
-
Inilah 'aqidah yang Anda sebut 'aqiidah 'Wahabi'. Lantas, dimanakah gambaran tasybiih dari beliau rahimahullah ". Bagaimana bisa dikatakan musaybbih sedangkan beliau sendiri mengingkari tasybiih ?. Seandainya ada orang yang menuduh beliau rahimahullah penganut paham musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) hanya dikarenakan menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang ada dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagaimana dhahirnya, maka Allah ta'ala berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat" [QS. Asy-Syuuraa : 11].
-
Dalam ayat di atas Allah ta'ala telah menetapkan bagi diri-Nya sifat mendengar dan melihat, namun Allah pun berfirman bahwa Ia berbeda dengan makhluk-Nya. Artinya, Allah ta'ala mempunyai sifat mendengar dan melihat, namun kedua sifat tersebut berbeda dengan makhluk-Nya; karena sifat-sifat Allah mengandung kesempurnaan tanpa ada aib, cacat, atau kekurangan. Begitu juga dengan sifat-sifat Allah ta'ala yang lain seperti pengasih, penyayang, mencintai, marah, gembira, mempunyai tangan, mempunyai mata, dan yang lainnya yang disebutkan dalam nash-nash.
-
Allah ta’ala berfirman:
قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ
"Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?" [QS. Shaad : 75].
-
Ayat tersebut sebagai dalil bahwa Allah ta'ala mempunyai tangan dalam makna yang sebenarnya, sedangkan tangan-Nya berbeda dengan tangan makhluk. Tangan dalam ayat tersebut bukan diartikan dengan kekuasaan atau kekuatan.
-
Hal ini sebagaimana yang dipahami kaum salaf, diantaranya 'Abdullah bin 'Umar radliyallaahu 'anhumaa:
خَلَقَ اللَّهُ أَرْبَعَةَ أَشْيَاءَ بِيَدِهِ: الْعَرْشُ، وَالْقَلَمُ، وَعَدْنٌ، وَآدَمُ، ثُمَّ قَالَ لِسَائِرِ الْخَلْقِ: كُنْ فَكَانَ
“Allah menciptakan empat hal dengan tangan-Nya : Al-‘Arsy, Al-Qalam (pena), (surga) Al-‘Adn, dan Aadam. Kemudian Allah berfirman kepada seluruh makhluk : ‘Jadilah’, maka jadilah ia” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy dalam Naqdud-Daarimiy ‘alaa Bisyr Al-Maarisiy no. 44 & 112, Al-Haakim 2/319, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat 2/126 no. 693, Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 2/130 no. 801, Abusy-Syaikh dalam Al-‘Adhamah 2/578-579 no. 213 & 5/1555-1556 no. 1018, dan l-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 729]; shahih.
-
Hanya saja mungkin sebagian orang salah paham bahwa dengan adanya penetapan sifat-sifat seperti itu dianggap sebagai tasybiih dan orangnya dicap musyabbihah. Jelas, ini kekeliruan fatal dan menunjukkan kebodohan mereka akan makna tasybiih tersebut.

Jumat, 06 November 2015

TAQLID‬ YANG DIHARAMKAN

TAQLID YANG DIHARAMKAN
Oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
***
***
Karena sebagian orang tidak mampu ittibâ’ dalam segala keadaan ataupun sebagiannya, maka mereka ini diperbolehkan taqlîd, sebagaimana penjelasan Syaikh asy-Syinqîthi. Beliau rahimahullah mengatakan : “Tidak ada yang menyelisihi tentang kebolehan taqlîd bagi orang awam kecuali sebagian kelompok Qadariyah.”[1] Namun, hukum ini tidak bisa diterapkan dalam semua bentuk taqlîd karena ada beberapa bentuk taqlîd yang dilarang
[1] Mudzakkirah Ushûlil Fiqh, hlm. 533-534, karya Syaikh asy-Syinqîthi, tahqîq: Abu Hafsh Sâmi al-‘Arabi, penerbit: Dârul Yaqîn, cet: 1, th. 1419 H / 1999 M
****
****
Semua Ulama sepakat bahwa semua kaum Muslimin wajib berpegang teguh pada al-Qur`ân dan Sunnah. Demikian juga wajib mengembalikan segala permasalahan yang diperselisihkan kepada keduanya, serta menolak semua pendapat yang menyelisihi keduanya.
-
Namun kita lihat pada kenyataannya, ada sebagian orang mengharuskan umat Islam fanatik kepada salah satu dari empat madzhab, yaitu Hanafiyah, Mâlikiyah, Syâfi’iyah, dan Hanâbilah. Bahkan ada yang berani mengharamkan pengambilan pendapat dari selain madzhabnya.
-
Oleh karena itu, pada tulisan ini kami akan menyampaikan tentang makna taqlîd dan taqlîd yang diharamkan, sehingga kita benar-benar bisa ittibâ’ (mengikuti) agama Allah Azza wa Jalla dengan sebaik-baiknya.
-
‪#‎MAKNA‬ TAQLID
Secara bahasa taqlîd berarti meletakkan kalung di leher. Adapun secara istilah agama, para Ulama mendefinisikannya dengan kalimat-kalimat yang sedikit berbeda, namun intinya sama. Berikut adalah beberapa penjelasan Ulama tentang makna taqlîd:
1. Al-Amidi rahimahullah berkata, taqlîd adalah,
الْعَمَلُ بِقَوْلِ الْغَيْرِ مِنْ غَيْرِ حُجَّةٍ مُلْزِمَةٍ
Mengamalkan pendapat orang lain dengan tanpa ada hujjah/argumen yang mewajibkan (amalan itu-red). [Al-Ihkâm 4/221]
-
2. Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah menjelaskan bahwa taqlîd adalah,
قَبُوْلُ قَوْلِ الْغَيْرِ مِنْ غَيْرِ حُجَّةٍ
Menerima perkataan orang lain dengan tanpa hujjah. [Raudhatun Nazhir, hlm. 205]
-
3. Ibnu Subki rahimahullah dalam kitab Jam’ul Jawâmi’ menyatakan bahwa taqlîd adalah,
أَخْذُ الْقَوْلِ مِنْ غَيْرِ مَعْرِفَةِ دَلِيْلِهِ
Mengambil suatu perkataan/pendapat tanpa mengetahui dalilnya.
-
4. Syaikh al-Kamal bin al-Humam rahimahullah dalam kitab At-Tahrîr, mendefinisikan taqlîd sebagai berikut:
اْلعَمَلُ بِقَوْلِ مَنْ لَيْسَ قَوْلُهُ إِحْدَى الْحُجَجِ بِلاَ حُجَّةٍ مِنْهَا
Mengamalkan pendapat orang yang perkataannya bukan termasuk hujjah dengan tanpa hujjah/dalil. [At-Tahrîr, hlm. 547; dinukil dari At-Taqlîd 1/8]
-
Yang dimaksud dengan “Mengamalkan perkataan/pendapat orang lain”, adalah meyakini kebenaran ijtihad orang lain dan melaksanakannya. Menurut Syaikh Muhammad al-Amîn asy-Syinqîthi rahimahullah “ Ijtihad itu ada pada dua perkara:
Pertama: Perkara yang sama sekali tidak ada nashnya (dalilnya).
Kedua: Perkara yang ada nash-nash namun nash-nash ini seakan bertentangan, sehingga harus ada ijtihad dalam menggabungkan atau mentarjîh (menguatkan salah satu nash).[1
Dan yang dimaksud dengan “Hujjah/argumen yang mewajibkan”, adalah hujjah yang wajib diamalkan, yaitu dalil yang dipandang syari’at bisa untuk menetapkan hukum, seperti al-Qur’ân, Sunnah, dan ijmâ’.
-
‪#‎PERBEDAAN‬ ANTARA ITTIBA’ DENGAN TAQLIID
Sebagian orang tidak bisa membedakan antara ittibâ’ dengan taqlîd, padahal di antara keduanya terdapat perbedaan nyata.
-
Taqlîd adalah seseorang mengambil atau mengamalkan pendapat atau perbuatan orang lain dengan tanpa ada dalil yang mewajibkan perbuatan itu ataupun membolehkannya. Seperti seorang awam atau mujtahid mengambil dari orang awam, karena dalil tidak mewajibkan dan tidak membolehkannya. Kecuali orang awam yang mengambil dari mujtahid atau mujtahid yang mengambil pendapat mujtahid lain dalam keadaan-keadaan tertentu.
-
Sedangkan ittibâ’ adalah seseorang mengambil atau mengamalkan pendapat atau perbuatan orang lain dengan ada dalil yang mewajibkan. Seperti seseorang mengikuti apa yang ada di dalam al-Qur’ân, atau yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau qâdhi (hakim) yang mengambil perkataan saksi-saksi yang adil; karena dalil mewajibkan mengamalkannya.
-
Ada persamaan antara taqlîd dan ittibâ’ dari sisi mengambil atau mengamalkan pendapat atau perbuatan orang lain; sedangkan perbedaannya, taqlîd dilakukan dengan tanpa dalil, sedangkan ittibâ’ dilakukan dengan dalil.
-
‪#‎KEWAJIBAN‬ ITTIBA’ DAN TAQLID YANG HARAM
Hukum asal dari ittibâ’ (mengikuti dalil) adalah diperintahkan, sedangkan taqlîd terlarang. Allah Azza wa Jalla berfirman :
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya). [al-A’râf/7:3]
-
Namun, karena sebagian orang tidak mampu ittibâ’ dalam segala keadaan ataupun sebagiannya, maka mereka ini diperbolehkan taqlîd, sebagaimana penjelasan Syaikh asy-Syinqîthi. Beliau rahimahullah mengatakan : “Tidak ada yang menyelisihi tentang kebolehan taqlîd bagi orang awam kecuali sebagian kelompok Qadariyah.”[2] Namun, hukum ini tidak bisa diterapkan dalam semua bentuk taqlîd karena ada beberapa bentuk taqlîd yang dilarang, misalnya:
A. Taqlîd (Mengikuti) Nenek Moyang Dan Berpaling Dari Wahyu.
Contohnya, seperti yang dilakukan orang-orang musyrik di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allah Azza wa Jalla memberitakan keadaan mereka dan mencela mereka dengan firman-Nya:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَىٰ عَذَابِ السَّعِيرِ
Apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutilah apa yang diturunkan Allah", mereka menjawab, "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun setan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)? [Luqmân/31:21]
---
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Dalam al-Qur’ân Allah Azza wa Jalla mencela orang yang menyimpang dari mengikuti Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kearah agama selama ini dia praktikkan yaitu agama nenek moyangnya. Inilah taqlîd yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, yaitu mengikuti selain Rasul dalam masalah yang diselisihi oleh Rasul. Taqlîd ini hukumnya haram bagi siapapun, berdasarkan kesepakatan umat Islam, karena tidak boleh taat kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada al-Khâliq”. [Qawâidul Ushûl, hlm 45]
---
B. Taqlîd Kepada Orang Yang Tidak Diketahui Keahliannya Dalam Agama.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. [al-Isrâ’/17:36]
---
Sisi pengambilan dalil dari ayat ini yaitu Allah Azza wa Jalla melarang seorang Muslim mengikuti apa yang tidak ia ketahui, sementara hukum asal dari sebuah larangan adalah haram. Orang yang bertaqlîd kepada orang yang tidak ia ketahui keahliannya, berarti dia telah mengikuti sesuatu yang tidak ia ketahui, sehingga hukumnya haram. [At-Taqlîd, 1/15]
---
C. Taqlîd Setelah Mengetahui Dalil Yang Menyelisihi Pendapat Orang Yang Diikuti.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur`ân) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [an-Nisâ`/4:59]
---
Sisi pengambilan dalil ayat ini yaitu Allah Azza wa Jalla memerintahkan para hambaNya agar mengembalikan urusan yang mereka perselisihkan ke al-Qur`ân dan Sunnah. Kalau begitu, berarti mengembalikan perselisihan kepada selain al-Qur`ân dan Sunnah hukumnya haram. Dan orang yang bertaqlîd kepada seseorang setelah mengetahui dalil yang menyelisihi pendapatnya, maka dia telah mengembalikan perselisihan kepada selain al-Qur`ân dan Sunnah, sehingga hukumnya haram. [At-Taqlîd, 1/16]
---
Di antara bentuk-bentuk taqlîd terlarang lainnya adalah :
1.Orang awam mengamalkan pendapat orang awam semisalnya.
2. Seorang mujtahid mengamalkan pendapat mujtahid semisalnya, baik dia telah berijtihad atau tidak.
3. Seorang mujtahid mengamalkan pendapat orang awam.
4. Termasuk taqlîd yang terlarang adalah mengambil hukum-hukum syari’at dari seorang imam (guru) tertentu dan menganggapnya seperti nash-nash agama yang wajib diikuti. [Lihat 1/10]
-
CONTOH-CONTOH TAQLID YANG HARAM
1. Pendapat firqah Syi’ah Imamiyah yang mewajibkan mengikuti imam yang mereka anggap ma’shûm, walaupun menyelisihi ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
---
2. Anggapan sebagian orang yang fanatik kepada madzhab imam tertentu, bahwa pendapat-pendapat imam mereka adalah syari’at, sampai mereka tidak bisa menerima jika ada keutamaan yang dinisbatkan kepada seorang Ulama yang bukan imam mereka.
---
3. Pendapat sekelompok orang yang mengaku mengikuti ahli Tashawwuf yang menjadikan perkataan-perkataan dan kejadian-kejadian yang diriwayatkan dalam kitab-kitab mereka sebagai agama, sekalipun menyelisihi al-Qur’ân dan Sunnah.
---
4. Para muqallîd (orang-orang yang taqlîd) menjadikan hakim sebagian syaikh (wali) yang mereka anggap telah meraih derajat kesempurnaan tertinggi, dan mereka menisbatkan kesalahan yang mereka lakukan kepada syaikh-syaikh itu, serta menolak kebenaran yang dinukilkan dari para Ulama yang mendahului para syaikh itu.
---
5. Pendapat para rasionalis dari firqah Mu’tazilah yang mengukur kebaikan dan keburukan dengan akal. Akhirnya, menjadikan akal manusia sebagai hakim dengan tanpa memperdulikan syari’at. Jika syari’at sesuai dengan akal dan hawa nafsu mereka, mereka menerimanya; jika tidak, mereka menolaknya.
Dengan penjelasan singkat ini, kita bisa mengetahui berbagai jenis taqlîd terlarang yang masih banyak dilakukan oleh sebagian umat ini. Untuk itu, hendaknya kita kembali kepada agama kita yang akan menghantarkan kepada kebaikan di dunia dan akhirat.
---
(Referensi : kitab At-Taqlîd wal Iftâ’ wal Istiftâ’, karya Syaikh `Abdul Azîz ar-Râjihi)
---
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Senin, 26 Oktober 2015

Seputar Sholat Jumat 2

Bacaan surah yang dianjurkan ketika sholat jumat.
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu,

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَقْرَأُ فِي صَلَاةِ الْجُمُعَةِ سُورَةَ الْجُمُعَةِ, وَالْمُنَافِقِينَ )  رَوَاهُ مُسْلِم ٌ 

 Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pada sholat Jum'at biasanya membaca surat al-Jumu'ah dan al-Munafiqun. Diriwayatkan oleh Muslim.

Dari Nu'man Ibnu Basyir Radliyallaahu 'anhu,

 وَلَهُ: عَنِ اَلنُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ: ( كَانَ يَقْرَأُ فِي اَلْعِيدَيْنِ وَفِي الْجُمُعَةِ: بِـ "سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اَلْأَعْلَى, وَ: هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ اَلْغَاشِيَةِ" )

 Dari Nu'man Ibnu Basyir Radliyallaahu 'anhu berkata: Biasanya beliau pada sholat dua 'Id dan Jum'at membaca (Sabbihisma rabbikal a'laa) dan (Hal ataaka haditsul ghoosyiyah).

Faedah yang dapat diambil dari kedua hadits tersebut adalah ;

- Dianjurkannya membaca surah Jumah dan surah Al-Munafiqun. Kenapa Surah Jumah? Karena berhubungan dengan sholat Jumat.  
 -  Meninggalkan jual beli daripada meneruskan jual beli.
- Surah Munafiqun, untuk memperingatkan agar tidak memiliki sifat-sifat kemunafikan.
- Disunnahkan membaca Al A'laa setelah membaca Al Fatehah, lalu pada rekaat kedua membacca surat Al-Ghoosyiyah.
Kenapa dibaca Al A'laa karena dalam surah tersebut ada pengagungan tauhid.
Adapun surah Al Ghoosyiyah didalmnya mengingatkan tentang hari kiamat, menjelaskan tentang tafakkur pada makhluk-makhluk Allah.
Semua surah-surah tersebut dibaca utuh, Nabi tidak pernah memotong ditengah surat.

 
Bertemunya sholat jumat dengan sholat hari raya.
Sholat jumat menjadi gugur bile bertemu dengan sholat Id.

Dari Zaid Ibnu Arqom Radliyallaahu 'anhu berkata: 

وَعَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ رضي الله عنه قَالَ: ( صَلَّى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اَلْعِيدَ, ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ, فَقَالَ: "مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ" )  رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا اَلتِّرْمِذِيَّ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَة َ

 Zaid Ibnu Arqom Radliyallaahu 'anhu berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sholat 'Id, kemudian beliau memberi keringanan untuk sholat Jum'at, lalu bersabda: "Barangsiapa hendak sholat, sholatlah." Riwayat Imam Lima kecuali Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah.

Faedah dari hadits diatas adalah;

- Bila sholat Id bertepatan dengan sholat jumat, maka bagi yang sholat Id diberi keringanan untuk tidak sholat Jumat, karena ketika itu bertemu 2 sholat Id maka ini bisa digabung.

- Siapa saja yang tidak sholat jumat dan sholat Id, hendaklah mengganti dengan sholat dzuhur, ini adalah menurut pendapat jumhur ulama.

-  Menghadiri sholat jumah adalah lebih afdol.
Kenapa shlat dzuhur tetap ada? karena waktu sholat tetap 5 waktu. Jika sholat jumat/dzuhur tidak dilakukan mak hanya menjadi 4 waktu sholat.

- Sholat jumat dan sholat duhur, jika salah satu sudah dipilih, maka yang lain gugur.

- Tetap bagi imam-imam masjid untuk mendirikan sholat jumat. 


Sholat sunnah setelah sholat jumat. 
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu,

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا )  رَوَاهُ مُسْلِم ٌ

  Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila seorang di antara kamu sholat Jum'at, hendaknya ia sholat setelah itu empat rakaat." Riwayat Muslim.

Kandungan hadits diatas adalah ;

- Disunnahkan sholat sunnah ba'da jumat sebanyak 4 rakaat.

- 4 rakaat ini berlaku, baik yang sholat dimasjid ataupun dirumah

- Dalam hadis lain yg diriwayatkan Ibnu Umar disebutkan bahwa beliau mengatakan sholat ba'da jumat itu 2 rakaat, cara mengkomprominya adalah 2 rakaat paling ringan, dan 4 rakaat lebih afdol.

- Tetap sholat sunnah terbaik adalah dikerjakan dirumah, namun jika dilakukan di masjid jika ada urusan penting, maka tidak masalah.

Menurut Imam Syafii dan jumhur ulama bahwasanya empat rakaat dilakukan dengan cara 2 rakaat salam, 2 rakaat salam.
Sedangkan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa 4 rakaat dikerjakan sekaligus.
Ketika kita hendak mengerjakan sholat sunnah ba'da jumah, maka dipisahkan dengan berdzikir atau pindah tempat.

Dari Saib Ibnu Yazid Radliyallaahu 'anhu ,

 وَعَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ, أَنَّ مُعَاوِيَةَ قَالَ لَهُ: ( إِذَا صَلَّيْتَ الْجُمُعَةَ فَلَا تَصِلْهَا بِصَلَاةٍ, حَتَّى تُكَلَّمَ أَوْ تَخْرُجَ, فَإِنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَمَرَنَا بِذَلِكَ: أَنْ لَا نُوصِلَ صَلَاةً بِصَلَاةٍ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ )  رَوَاهُ مُسْلِم ٌ

 Dari Saib Ibnu Yazid Radliyallaahu 'anhu bahwa Muawiyah Radliyallaahu 'anhu pernah berkata kepadanya: Jika engkau telah sholat Jum'at maka janganlah engkau menyambungnya dengan sholat lain hingga engkau berbicara atau keluar, karena Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan kami demikian, yakni: Janganlah kita menyambung suatu sholat dengan sholat lain sehingga kita berbicara atau keluar. Riwayat Muslim.

Disunnahkannya memisahkan antara sholat wajib dan sholat sunnah yaitu dengan berbagai cara, dengan berdzikir, dengan ngobrol, dan dengan berpindah tempat. Tujuannya untuk membedakan antara sholat wajib dan sholat sunnah juga ada tujuan lainnya yaitu untuk memperbanyak tempat sholat dan yang  terakhir adalah mengerjakan sholatnya dirumah jauh lebih afdol.
Bahwasanya ini tidak hanya berlaku untuk sholat jumat saja namun berlaku untuk semua sholat. Adapun menyambung/tidak pindah tempat tidak menjadi masalah. Hanya untuk memisahkan saja.


Wallahu 'Alam