Pelajaran dari Sejarah Munculnya Khawarij
Sungguh, dengan
mengenali sejarah generasi awal Khawarij akan menumbuhkan sikap waspada
terhadap mereka. Sebab, mereka akan senantiasa muncul, hingga Dajjal
muncul di tengah-tengah mereka, sebagaimana yang diberitakan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Cikal bakal mereka yang paling
awal adalah seseorang yang bernama Dzul Khuwaishirah. Jenggotnya tebal,
tulang pipinya menonjol, kedua matanya cekung, dahinya timbul, dan
kepalanya gundul. Dia berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika sedang membagi ghanimah (harta rampasan perang) Perang Hunain,
“Berbuat adillah, wahai Muhammad!”— atau—“Bertakwalah engkau, wahai
Muhammad!”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepadanya, “Siapa lagi yang akan menaati Allah kalau aku bermaksiat
kepada-Nya? Allah telah memercayaiku (untuk diutus) terhadap penduduk
bumi, namun kalian tidak memercayaiku?”
Lelaki itu kemudian
berpaling. Setelah itu, ada seorang sahabat yang hadir—disebutkan bahwa
dia adalah Khalid bin al-Walid—meminta izin kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk membunuhnya.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, dari tulang sulbi orang itu akan
keluar sekelompok orang yang membaca al-Qur’an, namun tidak melampaui
tenggorokan mereka. Mereka membunuh para pemeluk Islam, namun membiarkan
para penyembah berhala. Mereka keluar dari Islam sebagaimana melesatnya
anak panah dari binatang buruannya. Jika aku mendapati mereka, sungguh
aku akan memerangi mereka sebagaimana kaum Ad diperangi.” (HR. Muslim)
Awal munculnya mereka dalam bentuk kelompok ialah pada masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Terjadi perselisihan
antara mereka dan Ali radhiallahu ‘anhu, ketika Ali menunjuk orang
sebagai hakim dalam perselisihannya dengan Mu’awiyah radhiallahu ‘anhuma
dalam rangka menjaga agar darah kaum muslimin tidak ditumpahkan.
Sepulang dari Syam setelah peristiwa Shiffin, Ali radhiallahu ‘anhu
memasuki Kufah. Saat memasuki Kufah, sekelompok pasukannya memisahkan
diri dari Ali radhiallahu ‘anhu. Disebutkan bahwa jumlah kelompok itu
sekitar 16 ribu orang atau 12 ribu orang. Ada juga yang menyebutkan
jumlah kurang dari itu.
Mereka memisahkan diri dari Ali lalu
memberontak kepada beliau. Mereka mengingkari Ali radhiallahu ‘anhu
dalam beberapa masalah. Ali radhiallahu ‘anhu lalu mengutus Abdullah bin
Abbas radhiallahu ‘anhuma untuk menemui mereka untuk berdialog dalam
beberapa masalah tersebut dan membantah syubhat mereka. Urusan yang
mereka persoalkan sebenarnya tidak ada hakikatnya. Sebagian mereka rujuk
kepada kebenaran, namun sebagian yang lain tetap bersikeras dalam
kesesatan mereka.
Selanjutnya, Ali radhiallahu ‘anhu sendiri yang
keluar menemui mereka yang tersisa. Beliau radhiallahu ‘anhu
terus-menerus berdialog dan mendebat mereka hingga mereka kembali
bersama Ali radhiallahu ‘anhu ke Kufah. Mereka kemudian mulai menentang
ucapan beliau dan memperdengarkan cercaan terhadap beliau. Selain itu,
ayat-ayat tentang syirik dan kekafiran terhadap Allah mereka tujukan
kepada diri Ali radhiallahu ‘anhu.
Ibnu Jarir rahimahullah
menyebutkan, suatu hari Ali radhiallahu ‘anhu sedang berpidato. Ketika
itu, berdirilah salah seorang Khawarij dan berkata, “Wahai Ali, engkau
telah berbuat syirik dalam agama Allah dengan (menunjuk) manusia
(sebagai hakim). La hukma illa lillah (Tidak ada hukum kecuali milik
Allah).”
Lantas bersahutanlah suara dari setiap sudut, “La hukma illa lillah, la hukma illa lillah.”
Ali radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Ini adalah kalimat yang benar, tetapi yang diinginkan dengannya adalah kebatilan.”
Beliau kemudian berkata, “Kalian memiliki hak atas kami untuk kami
tidak menghentikan pemberian fai’ selama tangan kalian masih (berbai’at)
bersama kami, kami tidak menghalangi kalian mendatangi masjid-masjid
Allah, dan kami tidak akan memulai memerangi kalian sampai kalian
sendiri yang memulai memerangi kami.”
Setelah itu, kaum Khawarij
berkumpul di tempat tinggal Abdullah bin Wahb ar-Rasibi. Abdullah bin
Wahb berpidato di hadapan mereka dengan ucapan yang menggugah mereka.
Dia menumbuhkan sikap zuhud terhadap dunia, mendorong mereka untuk
urusan akhirat dan surga, dan memberi semangat mereka untuk menegakkan
amar ma’ruf nahi mungkar. Setelah, itu naiklah Hurqus bin Zuhair
berpidato, dilanjutkan oleh Zaid bin Hishn, yang juga menyemangati
mereka untuk beramar ma’ruf nahi mungkar. Dia membaca beberapa ayat
al-Qur’an, di antaranya firman Allah ‘azza wa jalla,
يَٰدَاوُۥدُ
إِنَّا جَعَلۡنَٰكَ خَلِيفَةٗ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَٱحۡكُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ
بِٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلۡهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ
“Hai Dawud,
sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka
berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan
Allah.” (Shad: 26)
وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٤٤
“Barang siapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (al-Maidah: 44)
Demikian pula ayat yang selanjutnya, yang menyebutkan “mereka itu adalah
orang-orang yang zalim” dan “mereka itu adalah orang-orang yang fasik”.
Setelah itu, dia berkata, “Aku mempersaksikan bahwa orang-orang yang
kita dakwahi, orang-orang yang sama kiblatnya dengan kita, bahwa mereka
telah mengikuti hawa nafsu, mencampakkan hukum al-Qur’an, zalim dalam
hal ucapan dan amalan, serta bahwa berjihad melawan mereka adalah sebuah
keharusan bagi kaum mukminin.”
Menangislah seseorang di antara
mereka yang bernama Abdullah bin Sakhbarah. Dia pun memprovokasi mereka
untuk melakukan pemberontakan. Dia berkata, “Tikamlah wajah dan kening
mereka dengan pedang, sehingga ditaatilah Allah Yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang.”
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan, “Manusia
jenis ini adalah keturunan Adam yang paling aneh. Mahasuci Dzat yang
telah menciptakan makhluk-Nya beraneka ragam sesuai dengan kehendak-Nya,
dan telah terdahulu dalam takdir Allah Yang Mahaagung.
Betapa bagusnya ucapan sebagian salaf, bahwa mereka (Khawarij) lah yang disebutkan dalam firman Allah ‘azza wa jalla,
قُلۡ هَلۡ نُنَبِّئُكُم بِٱلۡأَخۡسَرِينَ أَعۡمَٰلًا ١٠٣ ٱلَّذِينَ ضَلَّ
سَعۡيُهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَهُمۡ يَحۡسَبُونَ أَنَّهُمۡ
يُحۡسِنُونَ صُنۡعًا ١٠٤
Katakanlah, “Apakah akan Kami beritahukan
kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu
orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.
(al-Kahfi: 103—104)
Ringkasnya, mereka yang bodoh, sesat, celaka
dalam hal ucapan dan perbuatan ini, bersepakat untuk memberontak di
tengah-tengah kaum muslimin. Mereka bersepakat pergi menuju Madain untuk
merebutnya kemudian berlindung di dalamnya. Mereka pun mengirim utusan
kepada saudara-saudara dan teman-teman mereka yang memiliki pemikiran
serupa di Basrah dan kota lainnya. Orang-orang tersebut memenuhi ajakan
tersebut dan bergabung dengan mereka.
Zaid bin Hishn berkata,
“Madain tidak mampu kalian kuasai. Di sana ada pasukan yang tidak mampu
kalian hadapi, yang akan menghalangi kalian memasukinya. Buatlah
kesepakatan dengan teman-teman kalian untuk pergi ke arah jembatan
Sungai Jaukha. Janganlah kalian keluar dari Kufah secara berkelompok,
tetapi seorang demi seorang agar tidak ada yang menyadari kalian.”
Mereka menulis surat terbuka kepada penduduk Basrah dan kota lainnya
yang memiliki pemikiran dan tindakan yang sama dengan mereka. Mereka
mengirimkan pesan tersebut agar bergabung di sisi sungai, agar mereka
menjadi satu kekuatan menghadapi manusia.
Setelah itu, mereka
keluar secara sembunyi-sembunyi, seorang demi seorang, agar tidak
diketahui. Jika ada yang tahu, tentu mereka akan dihalangi sehingga
tidak bisa memisahkan diri dari ayah, ibu, paman, dan seluruh kerabat
sehingga mereka memutus tali silaturahim.
Dengan kebodohan,
pendeknya akal, dan sedikitnya ilmu, mereka berkeyakinan bahwa perbuatan
mereka ini membuat Allah ‘azza wa jalla—Rabb langit dan bumi—ridha.
Mereka tidak tahu bahwa tindakan mereka tersebut termasuk salah satu
dosa besar yang membinasakan, problem berat, dan kesalahan. Mereka tidak
sadar bahwa perbuatan mereka merupakan hasil hiasan Iblis—yang
terlaknat, diusir dari langit, dan telah memancangkan tonggak permusuhan
kepada bapak kita, Adam dan keturunannya selama ruh mereka masih ada
dalam jasad. Hanya Allah sajalah Dzat yang kita minta untuk melindungi
kita dengan daya dan upaya dari-Nya. Sesungguhnya, Dialah Dzat yang
mengabulkan doa-doa.
Sekelompok orang berhasil menyusul sebagian
anak dan saudara mereka lantas memulangkannya, memberi pelajaran, dan
menyatakan buruknya perbuatan orang-orang tersebut. Di antara mereka ada
yang kemudian istiqamah di atas kebenaran, namun ada pula yang
melarikan diri. Yang melarikan diri kemudian bergabung dengan Khawarij.
Dia pun ditimpa kerugian hingga hari kiamat.
Kaum Khawarij yang
tersisa ini akhirnya pergi ke tempat yang direncanakan. Penduduk Basrah
dan kota lainnya yang mereka kirimi pesan dahulu memenuhi ajakan mereka.
Mereka semua berkumpul di Nahrawan. Mereka memiliki kekuatan dan
menjadi pasukan tersendiri. Mereka berani dan berkeyakinan bahwa
perbuatan mereka ini adalah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah
‘azza wa jalla. Sungguh, amat buruklah sangkaan dan kesalahan mereka.
Ketika Ali radhiallahu ‘anhu sedang menyiapkan pasukan menuju Syam dan
berpidato memberi semangat pasukannya, sampai kepada beliau berita bahwa
Khawarij telah membuat kerusakan di muka bumi, menumpahkan darah yang
tidak boleh ditumpahkan, merampok di jalan, dan menganggap halal para
wanita.
Di antara yang mereka bunuh ialah seorang sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abdullah bin Khabbab
radhiallahu ‘anhu. Mereka menawan Abdullah dan istrinya yang sedang
hamil. Mereka bertanya, “Siapa engkau?”
Abdullah menjawab, “Aku Abdullah bin Khabbab, sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalian telah membuatku takut.”
Mereka berkata, “Engkau tidak apa-apa. Sampaikanlah hadits yang pernah engkau dengar dari ayahmu.”
Abdullah berkata, “Aku mendengar ayahku berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَتَكُونُ فِتْنَةٌ، الْقَاعِدُ فِيهَا خَيْرٌ مِنَ الْقَائِمِ،
وَالْقَائِمُ خُيْرٌ مِنَ الْمَاشِي، وَالْمَاشِي خَيْرٌ مِنَ السَّاعِي
“Akan terjadi fitnah, orang yang duduk saat itu lebih baik daripada
yang berdiri, yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan, dan yang
berjalan lebih baik daripada yang berlari kecil.”
Mereka lalu
mengikat tangan Abdullah. Ketika sedang berjalan bersama beliau, mereka
pun mendapati seekor babi milik kafir dzimmi. Sebagian mereka
membunuhnya dan merobek kulitnya. Sebagian yang lain berkata, “Mengapa
kalian lakukan ini, padahal babi itu milik seorang kafir dzimmi?” Yang
membunuh babi tersebut kemudian pergi menuju kafir dzimmi pemilik babi,
dan meminta kehalalan perbuatannya dan membuatnya ridha.
Ketika
Abdullah masih bersama mereka, ada buah kurma yang jatuh dari pohon.
Salah seorang mereka memungutnya lantas memasukkannya ke dalam mulut.
Ada yang berkata kepadanya, “(Engkau mengambil dan memakannya) tanpa
izin dan tanpa harga?”
Dia pun segera mengeluarkan kurma tadi
dari mulutnya. Namun, bersamaan dengan sikap wara’ ini, mereka membunuh
Abdullah bin Khabbab, seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Lihatlah sikap wara’ dusta ini.
Setelah itu, mereka mendatangi istri Abdullah. Istri Abdullah berkata, “Aku sedang hamil. Tidakkah kalian takut kepada Allah?”
Mereka tetap membunuhnya, bahkan kemudian merobek perutnya untuk mengeluarkan janinnya.
Ketika sampai kepada kaum muslimin bahwa begitulah perbuatan mereka,
kaum muslimin khawatir apabila pergi ke Syam dan sibuk berperang dengan
penduduknya, sementara kaum Khawarij tertinggal di sekitar rumah dan
negeri mereka dengan perbuatan tersebut.
Ali radhiallahu ‘anhu
pun mengirim al-Harits bin Murrah al-‘Abdi sebagai utusannya kepada
Khawarij. Namun, mereka membunuhnya tanpa peringatan. Ketika hal ini
terdengar oleh Ali radhiallahu ‘anhu, beliau bertekad kuat untuk pergi
menghadapi Khawarij terlebih dahulu sebelum pergi ke Syam. Beliau dan
pasukannya berangkat dan berkumpul di sana.
Ali radhiallahu ‘anhu
kembali mengirim utusan untuk menyampaikan, “Serahkan para pembunuh
saudara kami agar kami balas membunuhnya (dengan qishash). Setelah itu,
kami akan tinggalkan kalian dan pergi ke negeri Arab. Semoga setelah itu
Allah mengarahkan hati kalian kepada sesuatu yang lebih baik daripada
apa yang sekarang kalian berada di atasnya.”
Mereka menjawab,
“Kami semua yang membunuh saudara-saudaramu. Kami anggap halal darah
kalian dan darah mereka (yang telah kami bunuh).”
Qais bin Sa’d
kemudian menemui mereka. Ia menasihati mereka tentang urusan besar dan
kesalahan berat yang telah mereka lakukan. Namun, nasihat tersebut tidak
bermanfaat.
Demikian pula Abu Ayyub al-Anshari radhiallahu
‘anhu. Beliau memarahi dan mencela mereka. Namun, tidak bermanfaat juga.
Akhirnya, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sendiri yang mendatangi
mereka. Beliau radhiallahu ‘anhu menasihati dan menakut-nakuti mereka.
Beliau radhiallahu ‘anhu peringatkan dan mengancam mereka. Di antara
ucapan beliau kepada mereka, “Sungguh, hawa nafsu kalian telah membujuk
kalian. Kalian telah membunuh kaum muslimin. Demi Allah, kalau kalian
membunuh seekor ayam milik mereka, sungguh hal itu sangat besar dosanya
di sisi Allah. Lantas bagaimana halnya dengan darah kaum muslimin?”
Mereka tidak menjawab kecuali saling menyeru di antara mereka, “Jangan
kalian berdialog dengannya. Jangan kalian berbicara dengannya.
Bersiaplah untuk bertemu dengan Rabb ‘azza wa jalla. Bergegaslah,
bergegaslah menuju surga.”
Inilah seruan Khawarij, baik di masa
silam maupun sekarang. Mereka pun maju dan membentuk barisan untuk
berperang. Mereka bersiap sedia untuk bertempur. Mereka berdiri untuk
memerangi Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan para sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersama beliau.
Kaum Khawarij
beramai-ramai menuju Ali radhiallahu ‘anhu. Beliau radhiallahu ‘anhu
telah menyiapkan pasukan berkuda dan pemanah di depan beliau, barisan
pejalan kaki di belakang pasukan berkuda. Beliau berkata kepada
pasukannya, “Tahanlah diri kalian, sampai mereka yang lebih dahulu
menyerang.”
Kaum Khawarij datang seraya mengatakan, “La hukma illa lillah. Bergegaslah, bergegaslah menuju surga.”
Mereka pun menyerang pasukan berkuda yang disiapkan oleh Ali
radhiallahu ‘anhu. Sebagian pasukan berkuda tersudut ke kanan, sebagian
lagi ke arah kiri. Mereka pun dihadapi oleh pasukan pemanah dengan anak
panah yang diarahkan ke wajah mereka. Setelah itu, pasukan berkuda
menyerang mereka dari arah kanan dan kiri. Kemudian pasukan pejalan kaki
menyerang mereka dengan tombak dan pedang. Pasukan Ali radhiallahu
‘anhu berhasil membunuh kaum Khawarij yang lantas bergelimpangan menjadi
mayat di bawah kaki-kaki kuda. Terbunuhlah pimpinan mereka Abdullah bin
Wahb ar-Rasibi, Hurqus bin Zuhair, Syuraih bin Aufa, dan Abdullah bin
Sakhbarah. Semoga Allah menjelekkan mereka.
Abu Ayyub al-Anshari
radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Aku menusuk seorang Khawarij dengan
tombak dan aku tembuskan hingga ke punggungnya. Aku katakan kepadanya,
‘Bergembiralah engkau, wahai musuh Allah, dengan neraka.’ Ternyata si
Khawarij ini menjawab, “Engkau akan tahu nanti, siapa yang lebih pantas
masuk ke dalamnya’.” Bayangkan, dia katakan hal itu kepada seorang
sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ali radhiallahu
‘anhu pun mulai berjalan di antara mayat mereka dan berkata, “Kejelekan
bagi kalian. Sungguh, yang menipu kalian telah memudaratkan kalian.”
Mereka bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, siapakah yang telah menipu mereka?”
Ali menjawab, “Setan, dan jiwa yang selalu memerintah kepada kejelekan.
Jiwa itu menipu mereka dengan angan-angan dan menghias-hiasi
kemaksiatan untuk mereka. Jiwa itu memberitahu bahwa mereka akan
membantunya.”
Ali radhiallahu ‘anhu kemudian memerintahkan agar
kaum Khawarij yang terluka dikembalikan kepada kabilah mereka
masing-masing untuk diobati. Jumlah mereka sekitar empat ratus orang.
Ali radhiallahu ‘anhu membagi-bagi senjata dan barang yang tersisa dari
mereka.
Ali radhiallahu ‘anhu kemudian keluar untuk mencari
seorang lelaki yang dijadikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai tanda kaum Khawarij. Kedua lengan atau salah satunya seperti
payudara wanita. Beliau radhiallahu ‘anhu menemukannya di sebuah lubang
di tepi sungai, bersama dengan 40 atau 50 mayat lainnya. Ketika
menemukannya, Ali radhiallahu ‘anhu pun sujud kepada Allah dengan sujud
yang lama, sebagai bentuk rasa syukur kepada-Nya.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan kepada kita ciri-ciri
Khawarij dan pahala yang besar bagi yang membunuh mereka di bawah
komando pemerintah, atau terbunuh oleh mereka. Ali radhiallahu ‘anhu
menyampaikan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَيَخْرُجُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ أَحْدَاثُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ
الْأَحْلَامِ يَقُولُونَ مِنْ قَوْلِ خَيْرِ الْبَرِيَّةِ يَقْرَؤُونَ
الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ
مِنَ الدِّينِ كَمَا
يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ
فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّ فِي قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُ عِنْدَ
اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Akan keluar di akhir zaman nanti,
sekelompok orang yang masih muda umurnya dan berpemikiran bodoh (tidak
punya hikmah). Mereka mengatakan ucapan makhluk yang terbaik. Mereka
membaca al-Qur’an, tetapi tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka
melesat keluar dari agama ini sebagaimana halnya melesatnya anak panah
dari binatang buruannya. Apabila kalian mendapati mereka, bunuhlah
mereka. Sebab, orang yang membunuh mereka akan mendapatkan pahala di
sisi Allah pada hari kiamat.”
Demikian pula hadits-hadits lainnya. Dari peristiwa ini kita ketahui bahwa:
Perjuangan Khawarij adalah untuk mendapatkan kekuasaan dan dunia.
Mereka menujukan ayat-ayat tentang kekafiran dan kesyirikan kepada pemerintah.
Mereka mengafirkan hakim sekaligus orang yang berhukum kepadanya.
Mereka tidak akan ridha terhadap seorang hakim, seadil apa pun dia,
apabila bukan dari kelompok mereka dan sejalan dengan pemahaman mereka.
Mereka tidak ridha dengan pembagian dan hukum yang ditentukan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka juga tidak ridha
terhadap Utsman radhiallahu ‘anhu seingga mereka membunuh beliau. Mereka
juga tidak ridha dengan Ali radhiallahu ‘anhu dan para sahabat terbaik
yang bersama beliau. Bagaimana mungkin mereka akan ridha terhadap
pemerintah-pemerintah kita sekarang ini?
Mereka menipu
manusia dengan penampilan religius, slogan amar ma’ruf nahi mungkar, dan
upaya perbaikan. Akan tetapi, sungguh mereka adalah orang yang paling
jauh dari hakikat agama dan sunnah.
Mereka tidak segan menumpahkan darah kaum muslimin.
Mereka membunuh orang yang tidak bersalah, wanita, sampaipun bayi yang
masih dalam kandungan. Hal ini sebagaimana yang mereka lakukan terhadap
Abdullah bin Khabbab radhiallahu ‘anhu.
Disebutkan pula dalam hadits, “Mereka membunuh para pemeluk Islam, namun membiarkan para penyembah berhala.”
Peristiwa ini tidak hanya terjadi sekali, tetapi berulang. Apabila kita
melihat kenyataan kita sekarang, engkau dapati kaum Khawarij
terus-menerus ada.
Bahkan, kaum Khawarij sekarang lebih jelek
daripada generasi yang terdahulu. Kaum Khawarij terdahulu menampakkan
shalat, ibadah, dan membaca al-Qur’an, secara lahiriah. Adapun Khawarij
sekarang tidak memiliki agama. Agama mereka adalah penipuan dan khianat.
Bacaan mereka pun bukan al-Qur’an, melainkan nasyid-nasyid provokatif.
Ketika kaum Khawarij terdahulu meninggalkan ulama dari kalangan para
sahabat radhiallahu ‘anhum, bahkan mengafirkannya, mereka pun sesat dan
menyimpang. Ini merupakan sebab terbesar jatuhnya seseorang dalam
kesesatan. Demikian pula Khawarij masa kini, ketika mereka mencela dan
mengafirkan ulama kita, mengatakan bahwa ulama kita sebagai budak
penguasa dan sebutan jelek lainnya, mereka pun menyimpang dan sesat.
Oleh karena itu, berpegang teguhlah dengan Kitabullah dan Sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, engkau akan berjalan di atas ashshirathal
mustaqim (jalan yang lurus).
Semoga Allah mengokohkan kita di
atas as-Sunnah. Kita berlindung kepada Allah dari segala keburukan, yang
tampak maupun yang tersembunyi. Semoga Allah memberikan keamanan di
negeri kita dan menjadikannya—serta negeri-negeri kaum muslimin yang
lain—sebagai negeri yang baik dan damai.
(Dipetik dari
khutbah Jum’at yang disampaikan oleh Asy-Syaikh Dr. Khalid bin Dhahwi
bin azh-Zhafiri di Masjid as-Sa’idi, Jahra, Kuwait, 25 Syawwal1435 H/ 22
Agustus 2014 M)